Jumat, 09 April 2010

Guru Anak Autis Dituntut Mental Kuat dan Lebih Sabar

Guru untuk membina anak penderita Autis harus mempunyai mental kuat dan lebih sabar, karena murid yang dihadapi memiliki kondisi berbeda dengan orang normal dan terkadang berprilaku di luar dugaan.

Hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Bina Autis Mandiri Palembang dr Muniyati Ismail, Sabtu (27/3).

Dia mencontohkan, sebelumnya pernah terjadi saat guru baru mengajar, ternyata prilaku murid di yayasan itu yang luar biasa sehingga pihaknya 'terpaksa' membantu pembina tersebut supaya kendala dihadapi tidak berlanjut.

"Bahkan, kadang-kadang bila belum mengerti kondisi anak bisa-bisa pengajar kewalahan menghadapi prilaku anak Autis tersebut," kata dr Muniyati pendiri Yayasan Bina Autis Mandiri itu. "Jadi guru yang mengajar anak Autis harus memiliki mental kuat dan sabar, sehingga pelajaran diberikan dapat diserap anak 'cacat mental' itu."

Sehubungan itu, menurut dia, guru yang diterima mengajar di Yayasan Bina Autis Mandiri Palembang, mereka dikursuskan lagi supaya bisa mengetahui prilaku anak tersebut.

Lebih lanjut dia mengatakan, para guru yang membina anak Autis ini dari berbagai disiplin ilmu, namun juga harus diberikan ilmu khusus.

Dikatakannya, para guru yang mengajar di yayasan tersebut sekarang ini sudah menyatu dengan anak-anak didiknya, sehingga pelajaran diberikan dapat diterima dengan baik.

Yayasan Bina Autis Mandiri sekarang ini memiliki murid sebanyak 97 orang, dan dari jumlah itu sebagian besar mereka telah duduk di kelas satu hingga kelas enam sekolah dasar.

Kenali Gejala Awal Anak Autis

AUTIS adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan bahasa, perilaku, komunikasi, emosi dan interaksi sosial. Yulia, seorang terapis autis di Pelita Bunda, Terapi Center Jl Markisa No 58, Voorfo, Samarinda Ulu mengatakan, setiap anak penderita autis, memiliki kasus yang berbeda-beda.

Tingkah laku anak autis pun beragam. Ada yang berteriak, super aktif berlari-lari, menangis hingga tidur. "Ada anak yang hiperaktif tetapi ada anak yang hanya diam karena terlambat berbicara. Namun, secara intelektual kemampuan anak autis adalah normal," ungkapnya.

Lulusan sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Surabaya ini memaparkan, gejala autis bisa dilihat dari anak usia 3 bulan. Salah satunya, bisa dilihat dari kontak mata anak, apakah anak tersebut melihat atau tidak.

"Karena itu, orangtua jangan senang dulu apabila anaknya pendiam dan cenderung tidak merespon apa yang kita berikan. Orangtua jangan bangga saat dibawa ke mal anaknya cuma diam dan tidak rewel. Bisa jadi itu adalah tanda-tanda anak autis," katanya.

Menurut Yulia, dari segi fisik, anak autis tak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Namun dari segi prilaku mereka memang berbeda. Cenderung hiperaktif atau bahkan hanya diam. Wanita berjilbab ini tidak memungkiri komunikasi menjadi kendala utama anak-anak autis.

"Mereka memang sulit diajak berkomunikasi, kita harus menggunakan bahasa 'robot'," tambah Yulia.

Yang dimaksud Yulia, bahasa robot adalah komunikasi yang tegas. Anak-anak autis cenderung bingung apabila menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. "Apabila tidak, katakan 'tidak'. Jangan bertele-tele, karena anak-anak autis akan bingung. Karena itu, orangtua harus bekerjasama dengan tempat terapi mengenai bahasa. Komunikasi bahasa di rumah dan diterapi harus sama," kata Yulia.

Sementara itu, Farah Flamboyan ST, Kepala Pelita Bunda mengatakan, bahwa jumlah anak autis binaannya semakin bertambah. Ia pun berpesan kepada orangtua yang memiliki anak autis agar tidak putus asa dan terus berjuang untuk anaknya. Bukan untuk kesembuhan tetapi untuk kemandirian.

"Binaan kami di Pelita Bunda saat ini sudah mencapai 34 anak. Mulai usia 2 sampai 12 tahun," jelas Farah.

Menurut Farah, setiap anak memilih hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Begitu halnya dengan anak-anak luar biasa, salah satunya penderita autis. Sayangnya, saat ini pendidikan untuk anak autis masih cukup mahal. "Anak-anak autis tidak mengenal ras, agama atau golongan. Semua anak dari kalangan manapun bisa terkena autis," kata Farah.

Biaya per anak mulai dari Rp600 ribu, termasuk terapi dan biaya sekolah. Tidak heran, Farah mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk membantu anak-anak penderita autis. Sejauh ini, Pelita Bunda hanya memberikan subsidi bagi yang tidak mampu.

Tips Agar Anak Autis Mau Diajak Bicara

Sindrom antisosial, yang menghinggapi anak-anak mulai usia 2 tahun ini, terlihat dari keengganan pengidapnya untuk berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain. Hal ini menyebabkan anak autis terkadang tidak menyatu dengan lingkungan. Akibatnya, orangtua jadi sulit untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan si anak.


Agar Anda dapat mengajak anak autis berkomunikasi lebih baik, ikuti tips dari sekolah autis D'Knot berikut:


1. Jadilah teladan. Biasakan untuk fokus mendengarkan anak ketika ia sedang berbicara, maka mereka juga akan mencontoh.


2. Saat berbicara, pastikan Anda mendapatkan perhatian penuh dari si anak. Bila ia sedang sibuk, tunggulah hingga ia siap mendengarkan Anda. Misalnya dengan mematikan TV atau radio yang bisa membuatnya berkonsentrasi pada Anda.


3. Bicaralah sebagai sahabat, bukan orangtuanya. Anak autis akan lebih menaruh perhatian pada orangtua yang menempatkan mereka sebagai sahabat. Coba saja perhatikan, mereka akan lebih menaruh perhatian saat berbicara dengan sahabatnya.


4. Sampaikan pesan dengan suara jelas, berintonasi, dan singkat! Contohnya, "Ayo makan malam sekarang, yuk!". Hindari kata, "Wah, sudah jam berapa ini? Sudah lapar belum? Kita makan yuk, nanti kemalaman lho. Kalau kemalaman, besok bangunnya kesiangan."


5. Sesuaikan pemilihan kata-kata sesuai dengan usianya.


Anak Autis Bisa Disembuhkan

Anak yang menderita autis atau "cacat mental" bisa disembuhkan dengan penanganan yang sabar dan bertahap, kata Ketua Yayasan Bina Autis Mandiri dr Muniyati Ismael di Palembang, Selasa.

Dr Muniyati yang telah lama berpengalaman membina anak penderita autis mengatakan, lanjut dia, pembinaan harus dilaksanakan secara berkelanjutan, jangan setengah-setengah supaya mental mereka semakin normal.

Menurut pendiri Yayasan Bina Autis Mandiri itu, pihaknya sekarang membina 97 anak penderita autis dan dari jumlah itu sebagian besar mereka telah duduk di kelas satu hingga kelas enam sekolah dasar.

Yayasan itu mulai didirikan pada Januari 2003, setahun kemudian didirikan sekolah dasar, kata dia lagi.

"Alhamdulillah tahun ini ada enam orang yang akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Dari enam itu empat di antaranya penderita autis," kata dia.

Ia menjelaskan, murid yang bersekolah di yayasan ini selain ada yang menderita autis juga ada yang normal seperti murid SD umum lainnya.

Ketika ditanya soal ketertarikannya mendirikan yayasan autis itu, ia mengatakan, anaknya, Attar (13), juga menderita autis sehingga ia menjadi sangat tertarik untuk membina anak-anak seperti itu.

Oleh karena itu bagi anak yang kurang mampu atau penderita autis lainnya bisa dibina di Yayasan Bina Autis Mandiri karena pihaknya akan membantu dengan biaya ringan, ujar dia pula.

Sementara salah seorang guru Yayasan Bina Autis Mandiri, Tuti mengatakan, untuk melatih anak autis perlu kesabaran sendiri supaya apa yang diberikan bisa diterima mereka.

Begitu juga tingkat penalaran mereka terhadap pelajaran yang diberikan tergantung dengan kemampuan mereka masing-masing, ujar dia.

Anak Autis Bisa Disembuhkan

Anak yang menderita autis atau "cacat mental" bisa disembuhkan dengan penanganan yang sabar dan bertahap, kata Ketua Yayasan Bina Autis Mandiri dr Muniyati Ismael di Palembang, Selasa.

Dr Muniyati yang telah lama berpengalaman membina anak penderita autis mengatakan, lanjut dia, pembinaan harus dilaksanakan secara berkelanjutan, jangan setengah-setengah supaya mental mereka semakin normal.

Menurut pendiri Yayasan Bina Autis Mandiri itu, pihaknya sekarang membina 97 anak penderita autis dan dari jumlah itu sebagian besar mereka telah duduk di kelas satu hingga kelas enam sekolah dasar.

Yayasan itu mulai didirikan pada Januari 2003, setahun kemudian didirikan sekolah dasar, kata dia lagi.

"Alhamdulillah tahun ini ada enam orang yang akan mengikuti Ujian Nasional (UN). Dari enam itu empat di antaranya penderita autis," kata dia.

Ia menjelaskan, murid yang bersekolah di yayasan ini selain ada yang menderita autis juga ada yang normal seperti murid SD umum lainnya.

Ketika ditanya soal ketertarikannya mendirikan yayasan autis itu, ia mengatakan, anaknya, Attar (13), juga menderita autis sehingga ia menjadi sangat tertarik untuk membina anak-anak seperti itu.

Oleh karena itu bagi anak yang kurang mampu atau penderita autis lainnya bisa dibina di Yayasan Bina Autis Mandiri karena pihaknya akan membantu dengan biaya ringan, ujar dia pula.

Sementara salah seorang guru Yayasan Bina Autis Mandiri, Tuti mengatakan, untuk melatih anak autis perlu kesabaran sendiri supaya apa yang diberikan bisa diterima mereka.

Begitu juga tingkat penalaran mereka terhadap pelajaran yang diberikan tergantung dengan kemampuan mereka masing-masing, ujar dia.

Tips Bepergian dengan Anak Autis

Anak penderita autisme menyukai hal-hal yang rutin dan terstruktur. Karena itu, bepergian berarti mengganggu rutinitas mereka. Tak heran bila banyak orangtua yang memiliki anak autis menghindari acara bepergian. Padahal, dengan tips berikut, orangtua tetap bisa mengajak anak autis melakukan perjalanan jauh untuk liburan.

1. Jelaskan tempat tujuan
Sebelum bepergian, jelaskan kepada anak tentang tempat tujuan yang akan didatangi. Demikian saran dari Daniel Openden, Direktur Southwest Autism Research and Resource Center, Phoenix, AS. "Tunjukkan foto atau film mengenai lokasi yang akan dikunjungi. Ceritakan pula alasan datang ke tempat tersebut dan kegiatan yang akan dilakukan di sana," katanya.

2. Bepergian dengan pesawat
Jelaskan kepada awak pesawat mengenai kondisi anak Anda. Untuk mengusir rasa bosan di dalam pesawat, siapkan buku atau mainan untuk anak. Bawalah permen, terutama bila Anak tidak bisa berkomunikasi verbal dan tidak bisa mengungkapkan bila telinganya berdengung.

3. Menginap
Berencana untuk menginap di hotel selama liburan? Anda bisa mulai mengajarkan anak untuk menginap di tempat lain, bisa di rumah kerabat atau hotel di kota untuk satu malam agar anak terbiasa dengan suasana tidur yang lain. Agar anak tidak terlalu "kaget" dengan suasana baru, bawalah bantal atau selimut yang biasa dipakainya.

4. Keamanan
Untuk berjaga-jaga, kenakan tanda pengenal yang berisi data diri dan nomor telepon Anda. Bawalah juga foto anak untuk ditunjukkan pada polisi bila si kecil terpisah dari Anda.

Penanganan Masalah Belajar Anak Autisme Melalui Pendidikan Integrasi

Latar Belakang
Masalah Pada tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah anak berkesulitan belajar, terutama penyandang autisme. Mengingat di Negara kita belum ada upaya yang sistimatis untuk menanggulangi kesulitan belajar anak autisme, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan pelayanan pendidikan secara umum. Peningkatan pelayanan pendidikan itu diharapkan dapat menampung anak autisme lebih banyak serta meminimalkan problem belajar terutama pada anak-anak autisme (learning problem). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dan pendidikan anak autisme diperlukan pendidikan integrasi dan implementasinya dalam bentuk group/kelas (sekolah), individu (one on one) serta pembelajaran individual melalui modifikasi perilaku.

Pendidikan Integratif
Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:
  • Menempatkan anak autisme dengan anak normal secara penuh
  • Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan fungsi kognitif, efektif, fisik, intuitif secara integrasi
Menurut pandangan penulis, yang di maksud dengan pendidikan integratif adalah :
  • Mengintegrasikan anak autisme dengan anak normal sepenuhnya
  • Mengintegrasikan pendidikan anak autisme dengan pendidikan pada umumnya
  • Mengintegrasikan dan mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi, jasmani, intuisi, pada autisme
  • Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
  • Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk sosial.Dimanakah Anak Autisme Harus Sekolah

    Komunitas autisme di Jakarta sudah mencapai populasi yang besar dan belum ada sisitem pendidikan yang sistematis. Kalaupun ada biayanya mahal atau belum ada sekolah yang benar-benar sesuai. Tidak ada yang salah dalam situasi ini, baik lembaga, orang tua atau para ahli, mengingat masalah autisme ini masih tergolong baru. Penulis hendak menekankan dengan pemikiran yang sederhana tentang penanganan pendidikan autisme secara benar, dapat digunakan oleh semua kalangan, serta dapat membantu memberikan gambaran anak ini akan dibawa kemana. Kondisi yang harus kita terima sangat berat pada saat anak kita divonis autisme seakan semua pintu telah tertutup, semua jalan jadi buntu, semua kesempatan sudah terlambat. Hanya mukjizat yang akan datang dari Allah. Keadaan yang berat timbul pada saat mengetahui anak kita mengalami hambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan dan saat anak memiliki cukup umur harus masuk sekolah.

    Beberapa lembaga pendidikan (sekolah) yang selama ini menerima anak autis adalah sebagai berikut;

    • Anak Autis di sekolah Normal dengan Integrasi penuh
    • Anak Autis di sekolah Khusus
    • Anak Autis di SLB
    • Anak Autis hanya menjalani terapi.

    Biasanya sebelum sekolah anak-anak ini sudah mendapatkan penanganan dari berbagai ahli seperti : dokter syaraf, dokter specialis anak (Pediatri), Psikologi, Terapi wicara, OT, Fisioterapi,Orthopedagog (Guru khusus). dengan perkembangan dan perubahan sendirisendiri, ada yang maju pesat tapi ada yang sebaliknya. Menurut saya, kebanyakan orang tua penyandang autisme menginginkan sekolah sebagai status anak, tetapi jangan bersikap tidak realistis dengan tidak berbuat apa-apa karena mengintegrasikan anak autisme dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.

Kasih Sayang, Kunci Menangani Anak Autis

Kasih sayang serta kesabaran ekstra merupakan pendekatan yang kerap terabaikan dalam pendidikan anak autis di sejumlah klinik terapi. Karena upaya membentuk perilaku positif terhadap mereka tanpa sadar cenderung bernuansa kekerasan, maka anak menjadi trauma, takut mengikuti terapi, atau orangtuanya yang tidak terima."Bahkan, terkesan pembentukan perilaku pada anak autis seperti mendidik perilaku hewan. Misalnya, menyuruh duduk dengan mata melotot, bentakan, teriakan. Kalau tidak menurut disentil, dijewer, dan tindakan kekerasan lain," ungkap psikolog anak Dra Psi Hamidah MSi dalam seminar "Pendidikan Anak Autis dengan Pendekatan Humanistik" yang digelar Perhimpunan Autisme Indonesia pada Kongres Nasional Autisme Indonesia I di Jakarta, Sabtu (3/5).

Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.

Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras."Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis

Penanganan Tepat pada Anak Autisme

AUTISME atau disebut denganAutistic Spectrum Disorder (ASD), hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita autis agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.

Anak yang menderita autis sebenarnya dapat diketahui sejak usia dini. Karena umumnya gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Hanya kebanyakan orangtua kurang awaredengan gejala yang timbul pada anaknya hingga usia empat tahun.

Padahal pada usia tersebut, anak sudah larut dengan dunianya sendiri sehingga tidak bisa berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Ketika kondisi tersebut terlambat diketahui, maka langkah utama yang harus dilakukan ialah memfokuskan kelebihan anak di bidang tertentu yang dikuasainya.

Nah, kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu.
"Terapi perilaku - ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang diperintahkan, maka harus mengagetkan mereka," kata dr Irawan dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia, belum lama ini.

Terapi sensori integrasi, sambungnya, khusus ditujukan pada fungsi biologis otak. Sehingga otak melakukan segala sesuatu dengan benar. Sementara itu, terapi okupasi dilakukan untuk memperbaiki aktivitas penderita autis. Selain itu ada juga terapi wicara yang dilakukan untuk membantu penderita autis yang mengalami gangguan bicara agar bisa berbicara kembali.

Ternyata agar anak autis dapat kembali di tengah-tengah keluarganya, tak hanya langkah terapi saja yang dilakukan. Pemberian nutrisi tepat bagi penyandang autis juga harus diperhatikan. Karena pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu.

Pendidikan Seks untuk Anak Autis

Gangguan perkembangan, terutama dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial dan berperilaku, yang dialami oleh anak-anak autis membuat kebanyakan orangtua lebih fokus untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi dan bidang akademik lainnya.

Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus juga akan berkembang menjadi seorang remaja, mengalami masa puber, dan tertarik pada hal-hal yang berbau seksualitas. Itu sebabnya anak-anak autis tetap perlu mendapatkan pendidikan seks sejak dini.

Sementara itu, kebanyakan orangtua sering kali menghindari diskusi masalah seks dengan anak autis. Padahal, seorang remaja autis tidak punya pengetahuan yang cukup untuk mengerti soal seks karena keterbatasan kemampuan motorik dan perilaku.

Itu sebabnya banyak anak autis punya masalah dalam hal seksualitas, misalnya kebiasaan memegang kemaluan atau menyentuh bagian privat tubuh orang lain.

"Masalah-masalah tersebut biasanya baru disadari orangtua saat sudah menjadi masalah besar, misalnya anak terbiasa melakukannya di tempat umum. Ini karena orangtua tidak mencermati atau mengabaikan perilaku seks anaknya," ungkap Dra Dini Oktaufik, praktisi terapi perilaku.

Dini menuturkan, seorang anak autis juga bisa berkembang layaknya seorang anak normal, baik fisik maupun hormonal. "Mereka juga akan mengalami perkembangan seksual dan punya dorongan yang sama seperti remaja normal

E.S.D

Anak Autis

Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu diulang2. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2 atau kondisi tertentu.

Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:

  1. Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
  2. Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
  3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
  4. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
  5. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2 penting dalam tubuh & menghancurkannya.
  6. Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
  7. Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
  8. Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat memperbaikinya Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan ini.Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
    1. Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
    2. Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
    3. Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.

Kenali Lebih Dekat Anak Autis

APAKAH buah hati Anda memiliki rasa tertarik pada dunia lain? Atau apakah anak Anda sulit menatap mata lawan bicara? Bila iya, kemungkinan dia mengidap autisme. Segeralah bertindak.

Sepintas anak ini terlihat sangat normal, tetapi anak autis memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena sistem syaraf pusat mereka berkembang tidak sempurna sehingga mereka pun mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua yang memiliki anak autis.

Direktur Intervention Services for Autism Development Delay Disorder (ISADD) yang berbasis di Australia, Jura Tender mengakui, betapa sulit mendeteksi autisme sejak dini. Karena secara fisik bayi tampak sehat-sehat saja. Seiring berjalannya waktu, orangtua hanya melihat sedikit saja perbedaan.


Misalnya anak tidak terlalu banyak bicara, tidak suka disentuh, dan posisi tubuhnya sering aneh. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak terlalu memerhatikan sekaligus peduli akan hal itu. Mereka lantas menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. ”Padahal, orangtua seharusnya cepat bertindak dan hadapi kenyataan tersebut. Jangan sampai kondisi anak terlanjur parah hanya karena orangtua menganggapnya enteng,” ujar Jura mengingatkan.

Sedikitnya ada beberapa kriteria autisme yang dapat diperhatikan. Anak autis mengalami gangguan dalam interaksi sosial, di antaranya rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerakgerik tubuh. Anak pun tidak mampu berinteraksi sosial dalam kelompok selayaknya anak-anak seusianya.

Mereka juga tidak mampu memberikan reaksi secara sosial dan emosional atas apa yang terjadi. Misalnya tidak mampu menunjukkan simpati ketika orang lain bersedih ataupun tidak membalas ketika dipeluk. Anak autisme pun mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan berbicara, bahasa yang digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas, dan agak aneh. Mereka yang menderita autisme sering melakukan kegiatan, bertingkah laku, dan merasa tertarik pada sesuatu yang berulangulang serta terbatas. Seperti rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang terbatas. Sebut saja kebiasaan me ngulang-ulang sebuah adegan dari film atau video secara terus-menerus atau berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.