Kamis, 04 Maret 2010

SUATU hari di paruh Desember 1997. Di dalam tidurnya yang tenang, Andrean Ganie Hendrata tiba-tiba terbangun. Ada semacam ketakutan yang baru dilihatnya. Keringat dingin merembes dari pori-pori kulitnya yang kuning. Wajahnya yang kalem seketika berubah sedih. Kedua pipi bocah berusia enam tahun itu basah oleh air mata. Ia tak kuasa membendung kesedihannya.

Di dalam mimpinya itu, Andrean melihat sebuah kota ingar-bingar. Banyak rumah dan mobil terbakar, tangan-tangan mengepal, perempuan menjerit-jerit, dan kaum pria dipukuli tanpa sebab jelas. Ia tak tahu kapan dan di mana peristiwa dalam mimpinya itu terjadi. Yang pasti, “Mimpi serupa terjadi selama dua minggu berturut-turut,” Lianny Hendranata, ibu Andrean, menuturkan.

Mimpi mengerikan yang bertubi-tubi selama dua pekan itu membuat fisik Andrean makin loyo. Dan, bocah kurus itu akhirnya jatuh sakit. Tapi Lianny menyadari sepenuhnya bahwa anaknya tidak sakit sembarangan. Itu sebabnya, dia tidak membawa anaknya ke dokter. Si ibu justru mengundang pendeta untuk mengobati jiwa anaknya.

Sang pendeta pun datang. Ia membaca doa-doa di tepi pembaringan Andrean. Terasa simpel, tapi berhasil. Sebab, hari-hari berikutnya Andrean tak pernah lagi bermimpi buruk tentang sebuah kota yang tercabik-cabik anarkis. Kesehatannya kembali pulih.

Enam bulan sejak mimpi itu berlalu, Jakarta dilanda kerusuhan hebat. Penjarahan, pembakaran, penganiayaan terjadi pada Mei 1998. Tragedi itu ditayangkan oleh semua stasiun TV. Saat itulah ingatan Andrean kembali “dibangunkan”. Sembari menunjuk ke arah pesawat televisi, ia bilang: “Ma, itu yang aku lihat di mimpiku dulu!”

Sejak lahir, Andrean sudah menunjukkan kemampuan indra keenamnya. Malah, sejak bayi dia terbiasa melihat makhluk yang tak terlihat oleh indra biasa. Setelah besar, kemampuan Andrean makin sempurna. Kadang-kadang ia melihat sebuah benda bisa bergerak sendiri. “TV yang sudah dimatikan tahu-tahu bisa menyala kembali,” kata Andrean, yang kini duduk di kelas I SMP Slamet Riyadi, Cijantung, Jakarta Timur.

Dengan daya kelebihannya itu, oleh orangtuanya, Andrean difoto aura. Dan, hasilnya berbeda dengan anak umumnya. Aura Andrean berwarna nila. Saat ia dites, IQ-nya di atas 120. Itulah beberapa pertanda bahwa si empunya nama masuk dalam kategori anak indigo.
Andrean adalah bungsu dari tiga bersaudara pasangan Ganie Hendranata, 64 tahun, dan Lianny Hendranata, 45 tahun. Sehari-hari Hendranata bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Rupanya, tak hanya Andrean yang indigo. Kedua kakaknya, Imelda, 21 tahun, dan Raymond, 17 tahun, juga sama. Begitu pula Lianny.

Satu keluarga yang terdiri lima orang, empat di antaranya indigo, tentu seru. Mereka bisa bertelepati satu dengan lain. Suatu hari, misalnya, Imelda ingin memiliki sarung tangan warna merah. Tapi harganya mahal. Sang ibu menyarankan agar si sulung mencari sarung tangan yang murah saja. Rupanya, setelah mencari sekian lama, si anak tak berhasil menemukan sarung tangan merah berharga murah.

Tak berhasil bukan berarti memupuskan harapan. Imelda terus berjuang dengan caranya sendiri. Yaitu menciptakan keinginannya melalui otak: “Aku mau sarung tangan warna merah. Nggak tahu gimana caranya; aku harus punya sarung tangan warna merah.”

Beberapa hari kemudian, Raymond yang pulang dari Yogyakarta membawa oleh-oleh berupa sarung tangan warna merah buat kakaknya. “Masak, setiap aku masuk toko, kuping selalu berdengung; ada yang minta sarung tangan merah,” kata Lianny, yang juga terimbas telepati anaknya itu.

Anak-anak berkemampuan indra keenam tentu bukan hal baru. Simak saja film layar lebar bertitel The Sixth Sense, yang beredar tahun 1999. Film ini bercerita tentang anak punya daya linuwih yang diperankan Haley Joel Osment, dan psikolog anak Bruce Willis. Di layar TV juga ada film seri The X-Files (pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny) dan The Profiler (Ally Walker sebagai pemeran utama). Baik film layar lebar maupun film seri televisi itu sangat diminati penonton.

Adapun istilah indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh. “Letak indigo ada di kening, persisnya antara cakra leher yang berwarna biru dengan cakra puncak kepala yang berwarna ungu,” kata Dr. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ, psikiater anak dengan pendalaman di bidang kesehatan mental spiritual, kepada GATRA.

Prinsipnya, cakra memiliki spektrum warna mulai merah sampai ungu; seperti spektrum warna pelangi. Cakra leher (ada yang menyebut cakra tenggorokan) yang berwarna biru adalah wilayah yang tertandai berdasarkan penggunaan penalaran dengan optimalisasi fungsi otak. “Indigo berada di atasnya, bersifat spiritual,” ujar Erwin yang juga indigo.

Dengan asumsi tersebut, menurut Erwin, anak indigo bisa ditandai cerdas dan kreatif, karena dia sudah melalui cakra leher yang berwarna biru. Dalam kondisi sudah melewati biru, maka dia masuk dalam kategori indigo, baik secara mental maupun spiritual. Bila difoto aura, seakan-akan tampak memakai serban dengan warna biru. “Hanya saja, saat ia lahir, jasmaninya kecil, tidak sematang mental dan spiritualnya,” Erwin menambahkan.

Ciri-ciri lain yang mudah dikenali adalah punya kemampuan spiritual tinggi. Anak indigo kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu. Bisa pula melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa. “Kemampuan spiritual semacam itu masuk dalam wilayah ESP (extra-sensory perception) alias indra keenam,” papar Erwin.

Kemampuan ESP, menurut Erwin, bisa menjelajah ruang dan waktu. Ketika tubuh anak indigo berada di suatu tempat, pada saat bersamaan ia tahu apa yang terjadi di lokasi lain. Itulah yang disebut kemampuan menjelajah ruang. “Ketika dia berbicara sekarang, tentang suatu peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, ini yang disebut menjelajah waktu,” katanya.

Anak indigo biasanya banyak bertanya, dan orangtuanya akan kewalahan menjawab. Umpamanya, kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Dia akan merasa heran untuk beberapa hal, yang dirasa tak masuk akal. “Kenapa harus sekolah berjam-jam?” Erwin mencontohkan pertanyaan seorang anak indigo kepada ibunya.

Jika orangtua tak mengerti bahwa anaknya indigo, umumnya si anak cenderung memberontak, agresif, dan nakal. Tak sedikit yang kemudian bentrok dengan kehendak orangtuanya. “Jika orangtua masih otoriter membatasi aktivitas spiritual anak indigo, si anak pasti akan berontak,” lanjut Erwin. Karena itu, para orangtua mesti menjawab impresi-impresi yang dikemukakan si anak.

Tak hanya psikiater seperti Dr. Erwin yang menangani anak-anak indigo. Spiritualis Leo Lumanto, yang mengasuh acara “Percaya Nggak Percaya” di Antv, sudah enam tahun ini berinteraksi dengan bocah indigo. Saat ini, dia membimbing tiga anak indigo. Bimbingannya tidak berbentuk terapi khusus. Bocah itu hanya sering diajak berdialog saat mengikuti orangtuanya dalam acara pengajian di kediaman Leo, di kawasan Bintaro, Sektor IX, Tangerang, Banten.

Orangtua mereka berkonsultasi ke Leo, umumnya setelah melalui perjalanan panjang dari psikiater sampai ke paranormal. Sikap anak indigo yang terbilang unik menyebabkan orangtua mereka kerap menyangka anak-anak ini hiperaktif sehingga perlu dibawa ke psikiater. Ada juga yang beranggapan anaknya jadi “aneh” karena gangguan dari alam lain. “Dianggap ada yang nempel,” kata Leo.

Berhubung sudah dipersepsikan seperti itu, si anak biasanya dibawa ke paranormal untuk “dibereskan” dari urusan dengan dunia lain yang diakrabinya. Dalam pandangan Leo, anak indigo bukanlah bocah yang ketempelan jin atau sejenisnya. “Ini merupakan kehendak Allah yang tidak bisa kita sangkal,” Leo menyimpulkan.

Selain ciri-ciri yang ditunjukkan Dr. Erwin, menurut Leo, ciri lain anak indigo adalah suka menyendiri. Begitu berada pada suatu situasi atau lingkungan baru, anak indigo akan mencermati keadaan sekelilingnya dengan sangat teliti. Kemampuan mereka mengenal suasana dan individu luar biasa. “Walaupun terkadang mereka terlihat acuh tak acuh, sebenarnya di balik itu mereka paham apa yang sedang terjadi,” papar Leo. “Kepekaan spiritual pada anak indigo benar-benar merupakan hidayah dari Allah,” Leo menegaskan.

Psikolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dra. Sawitri Supardi Sadardjoen, menyarankan kepada para orangtua untuk “menormalkan” anak-anak berdaya linuwih ini. Sawitri justru menyarankan untuk “menumpulkan” kemampuan si anak. Caranya? “Dengan memberi pengertian bahwa apa yang diketahui si anak itu semata-mata faktor kebetulan,” katanya.

Selain karena khawatir si anak tersiksa dengan kelebihan yang dimiliki, Sawitri beralasan bahwa kemampuan itu akan membuat anak menjadi tidak realistis dan malas. “Kalau mereka konsentrasi dengan memusatkan energi, mereka bisa membayangkan soal-soal yang akan keluar dalam ujian. Ini bisa membuat mereka jadi malas belajar,” tutur Sawitri.

Lain lagi pendapat Prof. Dr. dr. H. Soewardi, MPH, SpKJ. Spesialis penyakit jiwa di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, ini mewanti-wanti bahwa anak-anak indigo mesti disikapi secara hati-hati, terutama oleh lingkungan sosial dan keluarganya. “Sebenarnya gejala tersebut adalah gejala ketidakwajaran,” kata Soewardi kepada Puguh Windrawan dari GATRA.

“Keajaiban” anak indigo itu terjadi, menurut Soewardi, karena ada kesalahan dalam kinerja otaknya. “Lebih tepat dikatakan bahwa sistem kerja otaknya terganggu,” ujarnya. Hal inilah yang menimbulkan ketidakwajaran. “Dalam sistem limbik otak, terutama neurotransmiternya, terganggu. Ini yang harus diupayakan kesembuhannya,” Soewardi menambahkan.

Oleh sebab itu, masih kata Soewardi, anak indigo jangan terlalu diistimewakan. Ia menyarankan agar mereka diperlakukan secara wajar supaya perkembangan jiwanya tidak terganggu. Perlakuan itu, menurut Soewardi, juga bisa mempercepat kinerja otak anak indigo agar berfungsi seperti sedia kala. “Anak indigo itu tidak normal alias sakit,” katanya.

Untuk kesembuhannya, antara lain, dilakukan melalui terapi, termasuk terapi religius. “Terapi melalui agama juga bisa dilakukan,” kata Soewardi. “Jangan disembuhkan melalui cara-cara pengobatan yang aneh-aneh atau di luar medis,” Soewardi mengingatkan.

Pandangan Soewardi itu berbeda dengan Erwin yang menilai anak indigo adalah anugerah Ilahi. Dalam pandangan Erwin, anak-anak indigo pada dasarnya seumur hidup akan indigo terus. Di usia anak-anak, mereka kerap “berontak”. Tapi ketika dewasa, karena sudah bisa menyesuaikan diri, sikap pemberontakannya berkurang. Artinya, “pendampingan” terhadap anak indigo sangat diutamakan, agar mereka bisa tumbuh secara wajar.

Namun, terlepas dari beda pandang dalam menyikapi, dari pengalaman yang ada, anak indigo pada dasarnya punya cita-cita berbuat baik dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Modalnya sudah di tangan: punya indra keenam, IQ-nya di atas rata-rata, dan bijaksana. Tinggal memolesnya saja. Dan, itulah yang kini tengah getol dilakukan di Barat. Sekolah untuk anak indigo sudah banyak bertebaran.

Di Indonesia? Itulah yang tengah dipikirkan oleh mereka yang sangat peduli pada indigo, termasuk Dr. Erwin. Jumlah anak indigo di Indonesia mungkin belum mencapai ratusan. Tapi dari yang sedikit itu, jika mendapat bimbingan yang sempurna, diharapkan mereka kelak menjadi pemimpin masa depan yang arif bijaksana, humanis, dan cinta damai. Siapa tahu!

Berbeda, tetapi Bukan Anak “Aneh”

SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.

“Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat,” ujar Dewi.

BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, “Tidak.” “Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma,” kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. “Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya,” lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. “Burung itu enggak pergi-pergi,” ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan “indah sekali”.

Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. “Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu,” sambung Dewi.

Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. “Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas,” sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.

Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, “Di sana,” sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. “Ada apa di sana?” tanya Ardi. Anak itu menjawab, “Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis,” tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat “anak itu” kecuali Ardi.

Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. “Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi,” kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.

Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. “Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar,” katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. “Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal,” lanjutnya.

Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. “Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ‘Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab.”

Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. “Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital.”

ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.

Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.

Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, anak-anak itu dianggap “aneh”. Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. “Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah,” ujar dr Erwin.

Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan dengan masa lalu. “Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah,” tegas Erwin.

Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.

Istilah “indigo” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah “anak indigo” atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.

Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.

Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.

“Itulah mata ketiga,” ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.

“Letak indigo ada di sini,” jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.

Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.

Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.

Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. “Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika,” sambung Liong, ayahnya.

Vincent mengaku “takut” pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan mainnya sendiri. “Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda,” tegas Vincent.

Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. “Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum,” ujar Ny Ina.

Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia SD. “Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya,” ujar Ny Ina. “Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis,” sambung Liong. “Saya sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat penting,” lanjut Liong.

“PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya,” ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau klenik. “Bukan itu misi anak-anak indigo,” tegas Rosi.

Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya “orang Amerika” karena “datang dari Amerika”. Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.

Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya,” ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.

Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.

Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip dr Erwin, “Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda,” sambungnya.

Namun karena dianggap “aneh”, tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. “Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda,” sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita “gangguan” yang harus dihilangkan.

“Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater,” ujar Rosini. Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya “aneh” karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.

“Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa pun,” sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan “jangan”.

Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.

Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. “Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual.”

Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan “melihat” milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.

“Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf,” ujar ibunya, Ny Dita.

SUATU hari di paruh Desember 1997. Di dalam tidurnya yang tenang, Andrean Ganie Hendrata tiba-tiba terbangun. Ada semacam ketakutan yang baru dilihatnya. Keringat dingin merembes dari pori-pori kulitnya yang kuning. Wajahnya yang kalem seketika berubah sedih. Kedua pipi bocah berusia enam tahun itu basah oleh air mata. Ia tak kuasa membendung kesedihannya.

Di dalam mimpinya itu, Andrean melihat sebuah kota ingar-bingar. Banyak rumah dan mobil terbakar, tangan-tangan mengepal, perempuan menjerit-jerit, dan kaum pria dipukuli tanpa sebab jelas. Ia tak tahu kapan dan di mana peristiwa dalam mimpinya itu terjadi. Yang pasti, “Mimpi serupa terjadi selama dua minggu berturut-turut,” Lianny Hendranata, ibu Andrean, menuturkan.

Mimpi mengerikan yang bertubi-tubi selama dua pekan itu membuat fisik Andrean makin loyo. Dan, bocah kurus itu akhirnya jatuh sakit. Tapi Lianny menyadari sepenuhnya bahwa anaknya tidak sakit sembarangan. Itu sebabnya, dia tidak membawa anaknya ke dokter. Si ibu justru mengundang pendeta untuk mengobati jiwa anaknya.

Sang pendeta pun datang. Ia membaca doa-doa di tepi pembaringan Andrean. Terasa simpel, tapi berhasil. Sebab, hari-hari berikutnya Andrean tak pernah lagi bermimpi buruk tentang sebuah kota yang tercabik-cabik anarkis. Kesehatannya kembali pulih.

Enam bulan sejak mimpi itu berlalu, Jakarta dilanda kerusuhan hebat. Penjarahan, pembakaran, penganiayaan terjadi pada Mei 1998. Tragedi itu ditayangkan oleh semua stasiun TV. Saat itulah ingatan Andrean kembali “dibangunkan”. Sembari menunjuk ke arah pesawat televisi, ia bilang: “Ma, itu yang aku lihat di mimpiku dulu!”

Sejak lahir, Andrean sudah menunjukkan kemampuan indra keenamnya. Malah, sejak bayi dia terbiasa melihat makhluk yang tak terlihat oleh indra biasa. Setelah besar, kemampuan Andrean makin sempurna. Kadang-kadang ia melihat sebuah benda bisa bergerak sendiri. “TV yang sudah dimatikan tahu-tahu bisa menyala kembali,” kata Andrean, yang kini duduk di kelas I SMP Slamet Riyadi, Cijantung, Jakarta Timur.

Dengan daya kelebihannya itu, oleh orangtuanya, Andrean difoto aura. Dan, hasilnya berbeda dengan anak umumnya. Aura Andrean berwarna nila. Saat ia dites, IQ-nya di atas 120. Itulah beberapa pertanda bahwa si empunya nama masuk dalam kategori anak indigo.
Andrean adalah bungsu dari tiga bersaudara pasangan Ganie Hendranata, 64 tahun, dan Lianny Hendranata, 45 tahun. Sehari-hari Hendranata bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Rupanya, tak hanya Andrean yang indigo. Kedua kakaknya, Imelda, 21 tahun, dan Raymond, 17 tahun, juga sama. Begitu pula Lianny.

Satu keluarga yang terdiri lima orang, empat di antaranya indigo, tentu seru. Mereka bisa bertelepati satu dengan lain. Suatu hari, misalnya, Imelda ingin memiliki sarung tangan warna merah. Tapi harganya mahal. Sang ibu menyarankan agar si sulung mencari sarung tangan yang murah saja. Rupanya, setelah mencari sekian lama, si anak tak berhasil menemukan sarung tangan merah berharga murah.

Tak berhasil bukan berarti memupuskan harapan. Imelda terus berjuang dengan caranya sendiri. Yaitu menciptakan keinginannya melalui otak: “Aku mau sarung tangan warna merah. Nggak tahu gimana caranya; aku harus punya sarung tangan warna merah.”

Beberapa hari kemudian, Raymond yang pulang dari Yogyakarta membawa oleh-oleh berupa sarung tangan warna merah buat kakaknya. “Masak, setiap aku masuk toko, kuping selalu berdengung; ada yang minta sarung tangan merah,” kata Lianny, yang juga terimbas telepati anaknya itu.

Anak-anak berkemampuan indra keenam tentu bukan hal baru. Simak saja film layar lebar bertitel The Sixth Sense, yang beredar tahun 1999. Film ini bercerita tentang anak punya daya linuwih yang diperankan Haley Joel Osment, dan psikolog anak Bruce Willis. Di layar TV juga ada film seri The X-Files (pemeran utamanya Gillian Anderson dan David Duchovny) dan The Profiler (Ally Walker sebagai pemeran utama). Baik film layar lebar maupun film seri televisi itu sangat diminati penonton.

Adapun istilah indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi warna biru dengan ungu. Warna-warna tersebut diidentifikasi lewat cakra di tubuh. “Letak indigo ada di kening, persisnya antara cakra leher yang berwarna biru dengan cakra puncak kepala yang berwarna ungu,” kata Dr. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ, psikiater anak dengan pendalaman di bidang kesehatan mental spiritual, kepada GATRA.

Prinsipnya, cakra memiliki spektrum warna mulai merah sampai ungu; seperti spektrum warna pelangi. Cakra leher (ada yang menyebut cakra tenggorokan) yang berwarna biru adalah wilayah yang tertandai berdasarkan penggunaan penalaran dengan optimalisasi fungsi otak. “Indigo berada di atasnya, bersifat spiritual,” ujar Erwin yang juga indigo.

Dengan asumsi tersebut, menurut Erwin, anak indigo bisa ditandai cerdas dan kreatif, karena dia sudah melalui cakra leher yang berwarna biru. Dalam kondisi sudah melewati biru, maka dia masuk dalam kategori indigo, baik secara mental maupun spiritual. Bila difoto aura, seakan-akan tampak memakai serban dengan warna biru. “Hanya saja, saat ia lahir, jasmaninya kecil, tidak sematang mental dan spiritualnya,” Erwin menambahkan.

Ciri-ciri lain yang mudah dikenali adalah punya kemampuan spiritual tinggi. Anak indigo kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu. Bisa pula melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa. “Kemampuan spiritual semacam itu masuk dalam wilayah ESP (extra-sensory perception) alias indra keenam,” papar Erwin.

Kemampuan ESP, menurut Erwin, bisa menjelajah ruang dan waktu. Ketika tubuh anak indigo berada di suatu tempat, pada saat bersamaan ia tahu apa yang terjadi di lokasi lain. Itulah yang disebut kemampuan menjelajah ruang. “Ketika dia berbicara sekarang, tentang suatu peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, ini yang disebut menjelajah waktu,” katanya.

Anak indigo biasanya banyak bertanya, dan orangtuanya akan kewalahan menjawab. Umpamanya, kenapa harus begini, kenapa harus begitu. Dia akan merasa heran untuk beberapa hal, yang dirasa tak masuk akal. “Kenapa harus sekolah berjam-jam?” Erwin mencontohkan pertanyaan seorang anak indigo kepada ibunya.

Jika orangtua tak mengerti bahwa anaknya indigo, umumnya si anak cenderung memberontak, agresif, dan nakal. Tak sedikit yang kemudian bentrok dengan kehendak orangtuanya. “Jika orangtua masih otoriter membatasi aktivitas spiritual anak indigo, si anak pasti akan berontak,” lanjut Erwin. Karena itu, para orangtua mesti menjawab impresi-impresi yang dikemukakan si anak.

Tak hanya psikiater seperti Dr. Erwin yang menangani anak-anak indigo. Spiritualis Leo Lumanto, yang mengasuh acara “Percaya Nggak Percaya” di Antv, sudah enam tahun ini berinteraksi dengan bocah indigo. Saat ini, dia membimbing tiga anak indigo. Bimbingannya tidak berbentuk terapi khusus. Bocah itu hanya sering diajak berdialog saat mengikuti orangtuanya dalam acara pengajian di kediaman Leo, di kawasan Bintaro, Sektor IX, Tangerang, Banten.

Orangtua mereka berkonsultasi ke Leo, umumnya setelah melalui perjalanan panjang dari psikiater sampai ke paranormal. Sikap anak indigo yang terbilang unik menyebabkan orangtua mereka kerap menyangka anak-anak ini hiperaktif sehingga perlu dibawa ke psikiater. Ada juga yang beranggapan anaknya jadi “aneh” karena gangguan dari alam lain. “Dianggap ada yang nempel,” kata Leo.

Berhubung sudah dipersepsikan seperti itu, si anak biasanya dibawa ke paranormal untuk “dibereskan” dari urusan dengan dunia lain yang diakrabinya. Dalam pandangan Leo, anak indigo bukanlah bocah yang ketempelan jin atau sejenisnya. “Ini merupakan kehendak Allah yang tidak bisa kita sangkal,” Leo menyimpulkan.

Selain ciri-ciri yang ditunjukkan Dr. Erwin, menurut Leo, ciri lain anak indigo adalah suka menyendiri. Begitu berada pada suatu situasi atau lingkungan baru, anak indigo akan mencermati keadaan sekelilingnya dengan sangat teliti. Kemampuan mereka mengenal suasana dan individu luar biasa. “Walaupun terkadang mereka terlihat acuh tak acuh, sebenarnya di balik itu mereka paham apa yang sedang terjadi,” papar Leo. “Kepekaan spiritual pada anak indigo benar-benar merupakan hidayah dari Allah,” Leo menegaskan.

Psikolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dra. Sawitri Supardi Sadardjoen, menyarankan kepada para orangtua untuk “menormalkan” anak-anak berdaya linuwih ini. Sawitri justru menyarankan untuk “menumpulkan” kemampuan si anak. Caranya? “Dengan memberi pengertian bahwa apa yang diketahui si anak itu semata-mata faktor kebetulan,” katanya.

Selain karena khawatir si anak tersiksa dengan kelebihan yang dimiliki, Sawitri beralasan bahwa kemampuan itu akan membuat anak menjadi tidak realistis dan malas. “Kalau mereka konsentrasi dengan memusatkan energi, mereka bisa membayangkan soal-soal yang akan keluar dalam ujian. Ini bisa membuat mereka jadi malas belajar,” tutur Sawitri.

Lain lagi pendapat Prof. Dr. dr. H. Soewardi, MPH, SpKJ. Spesialis penyakit jiwa di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, ini mewanti-wanti bahwa anak-anak indigo mesti disikapi secara hati-hati, terutama oleh lingkungan sosial dan keluarganya. “Sebenarnya gejala tersebut adalah gejala ketidakwajaran,” kata Soewardi kepada Puguh Windrawan dari GATRA.

“Keajaiban” anak indigo itu terjadi, menurut Soewardi, karena ada kesalahan dalam kinerja otaknya. “Lebih tepat dikatakan bahwa sistem kerja otaknya terganggu,” ujarnya. Hal inilah yang menimbulkan ketidakwajaran. “Dalam sistem limbik otak, terutama neurotransmiternya, terganggu. Ini yang harus diupayakan kesembuhannya,” Soewardi menambahkan.

Oleh sebab itu, masih kata Soewardi, anak indigo jangan terlalu diistimewakan. Ia menyarankan agar mereka diperlakukan secara wajar supaya perkembangan jiwanya tidak terganggu. Perlakuan itu, menurut Soewardi, juga bisa mempercepat kinerja otak anak indigo agar berfungsi seperti sedia kala. “Anak indigo itu tidak normal alias sakit,” katanya.

Untuk kesembuhannya, antara lain, dilakukan melalui terapi, termasuk terapi religius. “Terapi melalui agama juga bisa dilakukan,” kata Soewardi. “Jangan disembuhkan melalui cara-cara pengobatan yang aneh-aneh atau di luar medis,” Soewardi mengingatkan.

Pandangan Soewardi itu berbeda dengan Erwin yang menilai anak indigo adalah anugerah Ilahi. Dalam pandangan Erwin, anak-anak indigo pada dasarnya seumur hidup akan indigo terus. Di usia anak-anak, mereka kerap “berontak”. Tapi ketika dewasa, karena sudah bisa menyesuaikan diri, sikap pemberontakannya berkurang. Artinya, “pendampingan” terhadap anak indigo sangat diutamakan, agar mereka bisa tumbuh secara wajar.

Namun, terlepas dari beda pandang dalam menyikapi, dari pengalaman yang ada, anak indigo pada dasarnya punya cita-cita berbuat baik dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Modalnya sudah di tangan: punya indra keenam, IQ-nya di atas rata-rata, dan bijaksana. Tinggal memolesnya saja. Dan, itulah yang kini tengah getol dilakukan di Barat. Sekolah untuk anak indigo sudah banyak bertebaran.

Di Indonesia? Itulah yang tengah dipikirkan oleh mereka yang sangat peduli pada indigo, termasuk Dr. Erwin. Jumlah anak indigo di Indonesia mungkin belum mencapai ratusan. Tapi dari yang sedikit itu, jika mendapat bimbingan yang sempurna, diharapkan mereka kelak menjadi pemimpin masa depan yang arif bijaksana, humanis, dan cinta damai. Siapa tahu!

Berbeda, tetapi Bukan Anak “Aneh”

SEPANJANG perjalanan menuju rumah nenek, Ardi, sebut saja begitu, seperti tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi. Ia terus menutupi telinganya. Sang ibu tak berani mengusik anak sulungnya.

“Saya sebenarnya heran, kok Ardi nangisnya sampai begitu waktu mendengar kabar ibu saya meninggal. Enggak seperti anak kecil lain yang kehilangan neneknya. Sedih ya sedih, tapi enggak gitu-gitu amat,” ujar Dewi.

BEGITU turun dari mobil, Ardi seperti terkesima melihat sesuatu di pintu masuk. Ketika mencium jenazah neneknya, tiba-tiba ia kembali menutupi telinganya dan tampak ketakutan. Pandangannya terus menuju ke luar pintu. Setelah itu Ardi mengatakan kepalanya sakit, dan tidak ikut ke makam.

Menjelang tengah malam, Ardi menanyakan apakah ibunya mendengar suara petir siang tadi. Sang ibu menjawab, “Tidak.” “Masak Mama enggak dengar, kan keras sekali dan terus- terusan, Ma,” kata Dewi menirukan ucapan Ardi saat itu. “Sehabis itu Ardi menceritakan semuanya,” lanjut Dewi. Selain petir, Ardi melihat burung besar di pintu rumah sang nenek. “Burung itu enggak pergi-pergi,” ujar Ardi seperti ditirukan Dewi.

Saat mencium neneknya, Ardi melihat sang nenek berjalan menuju sebuah gerbang. Saat itu Ardi mendengar suara petir lagi, yang lebih keras dari sebelumnya, dan ia menyaksikan neneknya melangkah melewati gerbang, terus berjalan menuju tempat yang ia katakan “indah sekali”.

Peristiwa itu bukan yang pertama, sehingga Dewi dan suaminya tidak lagi terkejut mendengar penuturan anak mereka. “Dia sering melihat macam- macam, tetapi biasanya diam. Ia hanya mau berbicara sesudahnya, pelan-pelan dan hanya kepada orang tertentu,” sambung Dewi.

Usia Ardi kini menjelang 10 tahun. Di sekolah ia termasuk cerdas. IQ-nya antara 125-130. “Tapi gurunya bilang ia suka bengong di kelas,” sambung Dewi. Kepada ibunya, ia bercerita melihat macam-macam di sekolah, yang tidak bisa dilihat orang lain, di antaranya anak tanpa anggota badan, dan ia merasa sangat kasihan.

Suatu hari saat belajar di rumah ia tersenyum. Ketika ditanya oleh sang ibu, ia mengatakan ada anak persis sekali dengan dirinya. Hari berikutnya ia bercerita, anak itu datang di sekolahnya. Ketika ditanya di mana ia tinggal, anak itu menjawab, “Di sana,” sambil telunjuknya menunjuk ke arah atas. “Ada apa di sana?” tanya Ardi. Anak itu menjawab, “Ada orang gede- gede buanget. Anak itu omongnya juga medhok lho Ma, kayak aku, persis,” tutur Ardi seperti diceritakan kembali oleh Dewi. Tentu tak ada orang lain melihat “anak itu” kecuali Ardi.

Dewi dan suaminya memahami apa yang terjadi pada Ardi dan juga adiknya. Beberapa anggota keluarganya juga memiliki kepekaan lebih dibandingkan dengan orang kebanyakan. Pada Ardi hal itu sudah terdeteksi saat masih bayi. “Kalau dengar suara azan, Ardi tampak mendengarkan dengan penuh konsentrasi,” kenang Dewi. Menjelang usia 1,5 tahun, Ardi membaca kalimat syahadat secara sambung-menyambung seperti wirid. Sesudah bisa jalan, sebelum usia dua tahun, ia mulai mengambil sajadah sendiri, memakai sarung sendiri dan membuat gerakan seperti orang shalat, meskipun bukan waktu shalat.

Toh tingkah laku Ardi membuat Dewi merasa agak risau. “Ia melihat dan mendengar apa saja yang orang lain enggak bisa lihat dan enggak bisa dengar,” katanya. Ia tidak menceritakan situasi anaknya itu pada setiap orang di luar keluarga. “Kalau enggak percaya bisa-bisa anak itu dianggap berkhayal,” lanjutnya.

Dewi tidak mengecap anaknya berkhayal, karena dalam beberapa hal ia juga memiliki kepekaan itu, meski hanya sampai tingkat tertentu. “Suatu sore, sehabis shalat, saya merasa ada bayangan putih. Ardi rupanya juga melihat karena ia tersenyum. Dia bilang, ‘Ma, ada yang ngikutin, perempuan. Tapi orangnya baik sekali.’ Ketika saya tanya siapa, Ardi tidak menjawab.”

Suatu hari, Dewi membaca majalah yang menulis tentang tanda-tanda anak indigo. “Lha saya pikir kok persis sekali sama anak saya. Lalu saya berusaha menemui dr Erwin di Klinik Prorevital.”

ANAK-ANAK dengan kemampuan seperti Ardi bukan hal yang baru di dunia, tetapi fenomenanya semakin jelas 20 tahun terakhir ini. Beberapa film mengisahkan kemampuan anak dan manusia dewasa dengan kemampuan semacam itu, di antaranya The Sixth Sense, dan film-film seri seperti The X Files.

Menurut dr Tubagus Erwin Kusuma SpKj, psikiater yang menaruh perhatian pada masalah spiritualitas, anak-anak seperti itu semakin muncul di mana-mana di dunia, melewati batas budaya, agama, suku, etnis, kelompok, dan batas apa pun yang dibuat manusia untuk alasan-alasan tertentu.

Fenomena itu menarik perhatian banyak pihak, karena dalam paradigma psikologi manusia, anak-anak itu dianggap “aneh”. Pandangan ini muncul karena selama ini kemanusiaan telanjur dianggap sebagai hal yang statis, tak pernah berubah. “Padahal, semua ciptaan Tuhan selalu berubah,” ujar dr Erwin.

Sebagai hukum, masyarakat cenderung memahami evolusi tapi hanya untuk yang berkaitan dengan masa lalu. “Fenomena munculnya anak-anak dengan kemampuan seperti itu merupakan bagian dari evolusi kesadaran baru manusia, yang secara perlahan muncul di bumi, terutama sejak awal milenium spiritual sekitar tahun 2000 yang disebut Masa Baru, The New Age, atau The Aquarian Age. Semua ini merupakan wujud kebesaran Allah,” tegas Erwin.

Fisik anak-anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, tetapi batinnya tua (old soul) sehingga tak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Sering kali ia tak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada. Kebanyakan anak indigo juga memiliki indra keenam yang lebih kuat dibanding orang biasa. Kecerdasannya di atas rata-rata.

Istilah “indigo” berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Warna ini merupakan kombinasi biru dan ungu, diidentifikasi melalui cakra tubuh yang memiliki spektrum warna pelangi, dari merah sampai ungu. Istilah “anak indigo” atau indigo children juga merupakan istilah baru yang ditemukan konselor terkemuka di AS, Nancy Ann Tappe.

Pada pertengahan tahun 1970-an Nancy meneliti warna aura manusia dan memetakan artinya untuk menandai kepribadiannya. Tahun 1982 ia menulis buku Understanding Your Life Through Color. Penelitian lanjutan untuk mengelompokkan pola dasar perangai manusia melalui warna aura mendapat dukungan psikiater Dr McGreggor di San Diego University.

Dalam klasifikasi yang baru itu Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah tahun 1980. Warna itu menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sansekerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua alis mata.

“Itulah mata ketiga,” ujar dr Erwin. The third eye itu, menurut dia, berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epificis (pineal body) di otak. Dalam peta klasifikasi yang dibuat Nancy, manusia dengan aura dominan nila dikategorikan sebagai manusia dengan intuisi dan imajinasi sangat kuat.

“Letak indigo ada di sini,” jelas Tommy Suhalim sambil menjalankan perangkat teknologi pembaca aura, aura video station (AVS). Alat yang protipenya dibuat oleh Johannes R Fisslinger dari Jerman tahun 1997 ini lebih canggih dibandingkan perangkat teknologi serupa yang ditemukan Seymon Kirlian tahun 1939, dan Aura Camera 6000 yang dibuat Guy Coggins tahun 1992 berdasarkan Kirlian Photography.

Tom menunjukkan titik berkedip berwarna nila tua, sangat jelas di antara kedua mata Vincent Liong (19). Murid kelas dua tingkat SLTA di Gandhi International School itu sudah menulis buku pada usia 14 tahun dan bukunya diterbitkan oleh penerbit terkemuka di Indonesia. Buku Berlindung di Bawah Payung itu merupakan refleksi, berdasarkan kejadian sehari- hari yang sangat sederhana.

Pergulatan pemikiran yang muncul dalam tulisan-tulisannya kemudian seperti datang dari pemikiran orang bijak, dan menjadi bahan pembicaraan. Pemilihan angle-nya tidak biasa, dan hampir tidak terpikir bahkan oleh orang dewasa yang menekuni bidang itu. Belakangan ia banyak menulis soal spiritual, namun tetap dilihat dalam konteks ilmiah dan rasional.

Mungkin karena minatnya yang sangat besar pada dunia tulis-menulis, Vincent tidak terlalu berminat dengan beberapa mata pelajaran di sekolahnya. Orangtuanya yang tergolong demokratis pun sering tidak mengerti apa yang diingini anaknya yang ber-IQ antara 125-130 ini. “Dia keras kepala. Kemarin ia tidak mau ikut ujian matematika,” sambung Liong, ayahnya.

Vincent mengaku “takut” pada matematika sejak kecil, tapi mengaku disiplin pada aturan mainnya sendiri. “Sejak kecil aku bingung pada dogma satu tambah satu sama dengan dua. Aku juga bingung dengan ilmu ekonomi karena dalam realitas sosial berbeda,” tegas Vincent.

Toh sang ibu sudah menengarai keistimewaan anaknya sejak bayi. Waktu SD, Vincent biasa bergaul dengan gurunya, dan orang-orang setua gurunya. Pertanyaannya banyak dan sangat kritis. “Saya langganan dipanggil guru bukan hanya karena anak itu sulit. tetapi juga karena karangan-karangannya membuat guru-gurunya kagum,” ujar Ny Ina.

Vincent sudah menulis tentang teleskop berdasarkan pengamatan dan referensi pada usia SD. “Di rumah ia membawa ensiklopedi yang besar- besar itu ke kamarnya,” ujar Ny Ina. “Kamarnya kayak kapal pecah. Tidurnya dini hari karena menulis,” sambung Liong. “Saya sering meminta agar ia menyelesaikan pendidikan formalnya dulu, karena bagaimanapun itu sangat penting,” lanjut Liong.

“PENDIDIKAN formal sangat penting karena anak-anak indigo harus membumikan ’ilmu langitnya’ untuk kebaikan manusia. Bukan sebaliknya,” ujar Rosini (40). Ia menganjurkan, agar anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda itu tidak dieksploitasi oleh orangtua dan lingkungannya untuk mencari nomor togel atau menjadi dukun atau klenik. “Bukan itu misi anak-anak indigo,” tegas Rosi.

Anak-anak itu sebenarnya punya mekanisme pertahanannya sendiri. Annisa, misalnya. Gadis kecil berusia 4,5 tahun ini tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris beraksen Amerika begitu ia bisa bicara pada usia 2,5 tahun. Padahal orangtuanya tidak berbahasa Inggris dengan baik. Meski tampak menggemaskan, dalam banyak hal ia berbicara dan bersikap seperti orang dewasa, bahkan menyebut dirinya “orang Amerika” karena “datang dari Amerika”. Nisa menyebut ibunya, Yenny bukan dengan panggilan mama.

Kemampuan melihat dan mendengar Nisa sangat tajam pada pukul 23.00 sampai dini hari. Tetapi kalau secara sengaja diminta memperlihatkan kemampuannya, ia akan menolak dengan tidak memperlihatkan kemampuan itu sehingga ia tampak seperti anak-anak lainnya,” ujar Yenny. Kata sang ibu, Nisa tidak mudah bersalaman dengan orang. Ia seperti tahu orang yang suka pergi ke dukun atau memakai jimat. Namun sebagai anak-anak Nisa juga suka menyanyi dan bermain.

Jenis dan kemampuan anak indigo bermacam-macam. Meski memiliki kepekaan yang kuat, kepekaan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak didengar dan dilihat orang kebanyakan, berbeda-beda gradasinya.

Menurut Lanny Kuswandi, fasilitator program relaksasi di Klinik Prorevital, mengutip dr Erwin, “Ada tipe humanis, tipe konseptual, tipe artis, dan tipe interdimensional. Pendekatan terhadap mereka juga berbeda-beda,” sambungnya.

Namun karena dianggap “aneh”, tak jarang diagnosisnya keliru dan penanganannya lebih bersandar pada obat-obatan. “Ada anak indigo yang dianggap autis, ADHD (Attention-Deficit Hyperatictve Disorder) maupun ADD (Attention Deficit Disorder). Padahal tanda-tandanya berbeda,” sambung Erwin. Kekeliruan semacam ini juga terjadi di AS, karena banyak ahli menganggap anak-anak itu menderita “gangguan” yang harus dihilangkan.

“Saya beberapa kali pergi ke psikolog dan psikiater,” ujar Rosini. Profesional di suatu perusahaan swasta terkemuka itu suatu saat dalam hidupnya merasa sangat terganggu oleh suara-suara itu. Orangtuanya juga merasa anaknya “aneh” karena kerap memberi tahu peristiwa yang akan terjadi, tetapi menolak mengakui kemampuan anak itu.

“Dalam tes yang dibuat oleh mereka, saya dinyatakan sehat. Tidak ada gangguan apa pun,” sambung Rosini. Sebaliknya, ia melihat psikolog dan psikiater yang melakukan tes terhadap dirinyalah yang bermasalah. Ia juga pernah mencoba mencari paranormal untuk membuang kemampuannya itu, meski suara-suara itu mengatakan “jangan”.

Akhirnya Rosi berdamai dengan dirinya dan mengembalikan kemampuannya sebagai wujud kebesaran Allah SWT, dengan berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Karena itu ia ingin membantu orangtua dengan anak-anak indigo agar anak- anak itu tidak melewati masa pencarian yang rumit seperti dirinya.

Indigo children, menurut Erwin, bukan fenomena terakhir, karena akan lahir anak-anak yang disebut sebagai crystal children. “Anak-anak dengan warna dasar aura, bening dan lengkap. Mereka lahir dari orangtua yang spiritual.”

Mungkin Cita (9) termasuk anak itu. Keluarganya, sampai nenek-neneknya, spiritualis. Ia bisa melihat sinar dan malaikat di rumah ibadah, khususnya ketika orang-orang sedang berdoa. Ini hanya salah satu kemampuan “melihat” milik anak yang selalu mendapat rangking di sekolah itu. Cita tahu kapan hujan akan turun hari itu dan sebaliknya, meskipun mendung sudah menggantung.

“Ia menjadi teman dan penasihat kami, bapak-ibunya. Di sekolah, di keluarga besar kami, terasa ia menebarkan aura kedamaian dan kebahagiaan. Anak itu sangat tenang dan pemaaf,” ujar ibunya, Ny Dita.

Bila seorang penjahat dalam aksi kriminalnya dilakukan dengan keji, kejam dan tak berperikemanusiaan maka orang pasti akan memvonis sebagai psikopat. Tetapi sebenarnya tidak semua pembunuh adalah psikopat dan tidak semua psikopat pembunuh. Sebenarnya lebih banyak lagi psikopat yang berkeliaran dan hidup di tengah-tengah masyarakat, bukan sebagai pelaku kriminal.

Selama ini mungkin tidak disadari psikopat ada di sekitar kita. Apakah tetangga, teman kerja atau bahkan pasangan serta anggota keluarga mengalaminya. Penyimpangan perilaku itu adalah sikap egois, tidak pernah mengakui kesalahan bahkan selalu mengulangi kesalahan, tidak memiliki empati, dan tidak punya hati nurani. Bila itu semua ada, maka kecurigaan psikopat layak diberikan.

Definisi

Psikopat adalah suatu gejala kelainan yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Istilah psikopat yang sudah sangat dikenal masyarakat justru tidak ditemukan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV. Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa Amerika Serikat. Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial. Selain psikopatik, ada gangguan antisosial, asosial, dan amoral yang masuk dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial.

Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati, pengidapnya seringkali disebut “orang gila tanpa gangguan mental”. Menurut penelitian sekitar 1 persen dari total populasi dunia mengidap psikopat. Beberapa orang ahli memprediksi tiga dari 10 laki-laki di Amerika Serikat dan satu dari 30 laki-laki di Inggris adalah psikopat. Prediksi ini didasarkan pada penelitiannya, yang sebagian besar respondennya adalah laki-laki.

Psikopat ditemukan di berbagai profesi dan kelas sosial, laki-laki dan perempuan. Karena yang dirugikan oleh kejahatannya tak hanya individu tetapi juga masyarakat luas, pengidap ini sulit dideteksi karena sebanyak 80% lebih banyak yang berkeliaran daripada yang mendekam di penjara atau di rumah sakit jiwa, pengidapnya juga sukar disembuhkan.

Dalam kasus kriminal, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, pemabuk, penjudi, penipu, pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pelaku bunuh diri dan koruptor. Namun, kasus kriminal itu hanya terjadi pada sekitar 15-20 persen dari semua penderita psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.

Penyebab

Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab psikopat. Berbagai teori dikemukakan oleh para peneliti. Teori kelainan struktural otak seperti penurunan intensitas bagian otak di daerah prefrontal grey matter dan penurunan volume otak di bagian “posterior hippocampal” dan peningkatan intensitas otak bagian “callosal white matter”. Teori lain adalah gangguan metabolisme serotonin, gangguan fungsi otak dan genetik yang diduga ikut menciptakan karakter monster seorang psikopat.

Mungkin tidak terdapat kerusakan otak sebagai penyebab psikopatik. Tetapi terdapat anomali dalam cara psikopat memproses informasi. Dalam penelitian menggunakan MRI melalui pengenalan gambar-gambar kasus bunuh diri yang tidak menyeramkan. Pada orang non-psikopat terlihat banyak sekali aktivasi di amigdala sedangkan pada psikopat tidak ada perbedaan sama sekali. Namun ada peningkatan aktivitas di area lain pada otak yaitu area ekstra-limbik. Tampaknya psikopat menganalisis materi emosional di area otak tersebut.

Selain ada anomali di otak, faktor genetik dan lingkungan juga berperan besar melahirkan karakter psikopat. Stres atau tekanan hidup yang besar bisa pula merubah perilaku seseorang menjadi brutal. Namun bila sifatnya sementara, karena ada pemicu yang masuk akal, maka tidak bisa dikatakan psikopat. Ciri psikopat sebenarnya bisa dideteksi sejak kanak-kanak melalui berbagai perilaku yang tidak biasa. Perilaku antisosial pada anak- anak ternyata merupakan warisan genetik. Penelitian terhadap anak- anak kembar menunjukkan, anak menunjukkan kecenderungan psikopatik dini. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 3.687 pasang anakkembar berusia tujuh tahun.

Gejala Psikopat

Terdapat tiga ciri utama yang biasanya melakat pada seorang psikopat, yakni egosentris, tidak punya empati, dan tidak pernah menyesal. Terdapat sepuluh karakter spesifik psikopat. Di antaranya adalah tidak memiliki empati, emosi dangkal, manipulatif, pembohong, egosentris, pintar bicara, toleransi yang rendah pada frustasi, membangun relasi yang singkat dan episodik, gaya hidup parasitik, dan melanggar norma sosial yang persisten. Seorang psikopat selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah, dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri.

Sejumlah penelitian menunjukkan, psikopat lebih suka menyiksa pasangan daripada membunuhnya. Dari sekian banyak pembunuhan dalam rumah tangga, hanya 2 persen yang pelakunya benar-benar seorang psikopat. Para psikopat umumnya tidak menyesal setelah melakukan aksinya. Hanya sedikit psikopat yang menyesal lalu memutuskan bunuh diri. Dari 2 persen psikopat yang melakukan pembunuhan, seperempatnya melakukan bunuh diri.

Selengkapnya gejala psikopat adalah sebagai berikut:
Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar. Bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah “dingin”.
Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.
Sikap antisosial di usia dewasa.

Diagnosis

Tidak mudah mendiagnosa psikopat. Mencocokan kepribadian pasien dengan 20 kriteria yang ditetapkan Prof. Hare. Pencocokkan ini dilakukan dengan cara mewawancara keluarga dan orang-orang terdekat pasien, pengaduan korban, atau pengamatan perilaku pasien dari waktu ke waktu. Pemeriksaan elektroensefalogram, MRI, dan pemeriksaan kesehatan secara lengkap. Hal ini dilakukan karena menurut penelitian gambar hasil PET (positron emission tomography) perbandingan orang normal, pembunuh spontan, dan pembunuh terencana berdarah dingin menunjukkan perbedaan aktivitas otak di bagian prefrontal cortex yang rendah. Bagian otak lobus frontal dipercaya sebagai bagian yang membentuk kepribadian. Wawancara menggunakan metode DSM IV (The American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder versi IV) yang dianggap berhasil untuk menentukan kepribadian antisosial. Dilakukan pengamatan perilaku dan kepribadian pasien. Biasanya sejak usia pasien 15 tahun mulai menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan. Pemeriksaan psikotes untuk menilai tingkat kecerdasan. Psikopat biasanya memiliki IQ yang tinggi.

MMPL (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) adalah metode yang selama ini digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan jiwa secara umum, termasuk psikopat. Namun MMPL masih mempunyai kelemahan. Tidak sulit bagi seorang psikopat yang cerdas untuk merekayasa laporan dan berbohong. Akhirnya dikembangkan Psychopathy Checklist (PCL) dan versi revisinya Psychopathy Checklist-Revised (PCL-R), untuk penilaian secara valid dan benar tentang psikopat. PCL-R merupakan metode yang sudah dilengkapi dasar-dasar interview semi-struktural dengan seseorang yang dicurigai sebagai psikopat, bersama-sama diolah dengan berbagai informasi tentang orang tersebut. Penilaian ditentukan dengan skala, mulai dari 0 artinya tidak ada indikasi psikopat hingga 2 yang artinya seseorang positif memiliki karakter psikopat. Total skor adalah 40, dan seseorang didiagnosa psikopat jika dia memiliki skor antara 30 hingga 40. Pada beberapa kasus, skor 25 juga sudah dikategorikan psikopat.

Terdapat sekitar 20 kriteria dalam PCL-R dalam menegakkan diagnosis psikopat. Di antaranya sebagai berikut: persuasif dan mempesona di permukaan, menghargai diri yang berlebihan, butuh stimulasi atau gampang bosan, pembohong yang patologis, menipu dan manipulatif, kurang rasa bersalah dan berdosa, emosi dangkal, kasar dan kurang empati, hidup seperti parasit, buruknya pengendalian perilaku, longgarnya perilaku seksual, masalah perilaku dini (sebelum usia 13 tahun), tidak punya tujuan jangka panjang yang realistis, impulsif, tidak bertanggung jawab atas kewajiban, tidak bertanggung jawab atas tindakan sendiri, pernikahan jangka pendek yang berulang, kenakalan remaja, melanggar norma dan keragaman kriminal.

Alat diagnosis lain yang digunakan berdasarkan teori yang sudah eksis (metode deduksi) adalah Primitive Defense Guide, Rorschach, ToM (Theory of Mind), SCT (Sentence Completion Test) dan NEO PIR.

Penanganan dan Pencegahan

Pada dasarnya, psikopat tidak bisa diterapi secara sempurna tetapi hanya bisa terobservasi dan terdeteksi. Untuk tahap pengobatan dan rehabilitasi psikopat saat ini baru dalam tahap kompleksitas pemahaman gejala. Terapi yang paling mungkin adalan non-obat seperti konseling. Namun melihat kompleksitas masalahnya, terapi psikopat bisa dikatakan sulit bahkan tidak mungkin. Seorang psikopat tidak merasa ada yang salah dengan dirinya sehingga memintanya datang teratur untuk terapi adalah hal yang mustahil. Yang bisa dilakukan manusia adalah menghindari orang-orang psikopat, memberikan terapi pada korbannya, mencegah timbul korban lebih banyak dan mencegah psikopat jangan berubah menjadi kriminal.

Psikopat salah satu perilaku menyimpang yang banyak ditakuti masyarakat sebenarnya selama ini banyak terdapat di sekitar kita. Sekitar 1 dari 100 orang di dalam masyarakat adalah psikopat. Hampir seperlimanya akan berperilaku kriminal seperti pembunuh, pemerkosa, koruptor, pemabuk, atau penjudi. Mungkin salah satunya akan berpotensi menjadi “monster penjagal manusia”. Bila deteksi dini gangguan perilaku pada anak dan pendekatan lingkungan dilakukan dengan baik, maka idealnya psikopat tidak akan berubah menjadi kriminal.

Beberapa penelitian faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Lingkungan tersebut bisa berupa fisik, biologis dan sosial. Tetapi kebanyakan orang-orang beresiko biasanya memasuki lingkungan yang sama yang berpotensi terjadinya kejahatan tersebut. Faktor lingkungan fisik dan sosial yang beresiko berkembangnya seorang psikopat menjadi kriminal adalah tekanan ekonomi yang buruk, perlakuan kasar dan keras sejak usia anak, penelantaran anak, perceraian orang tua, kesibukan orangtua, faktor pemberian nutrisi tertentu, dan kehidupan keluarga yang tidak mematuhi etika hukum, agama dan sosial. Lingkungan yang beresiko lainnya adalah hidup di tengah masyarakat yang dekat dengan perbuatan kriminal seperti pembunuhan, penyiksaan, kekerasan dan lain sebagainya.

Sedangkan lingkungan biologis salah satunya yang saat ini banyak diteliti adalah pola makan apakah berpengaruh terhadap tindak kriminal tersebut. Adanya penelitian yang dilakukan Peter C. dkk tahun 1997 cukup mengejutkan. Didapatkan kaitan diet, alergi makanan, intoleransi makanan dan perilaku kriminal di usia muda cukup menjadi informasi dan fakta ilmiah yang menarik dan sangat penting. Meskipun demikian masih belum dapat dijelaskan mengapa beberapa faktor tersebut berkaitan. Terdapat beberapa faktor resiko untuk terjadi tindak kekerasan dan kriminal tersebut seperti agresifitas, emosi, impulsifitas, hiperaktif, gangguan tidur dan sebagainya. Ternyata banyak faktor resiko tersebut juga terjadi pada penderita alergi.

Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, impulsifitas hingga memperberat gejala penderita autisme dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

Bila faktor genetik, gangguan fungsi otak, dan diikuti oleh lingkungan fisik, biologis dan sosial yang negatif maka tindak kriminal pada penderita psikopat lebih gampang terjadi. Sehingga sangatlah penting untuk mengetahui faktor resiko dan gangguan perilaku pada usia anak untuk dilakukan pencegahan sejak dini.

POLA ASUH TEPAT UNTUK SEMUA TIPE ANAK

Tipe kepribadian anak dapat juga dikenali dari ciri lainnya yaitu anak sulit, mudah, dan slow to warm up. Ciri ini melengkapi penggolongan kepribadian berdasarkan temperamen yang dikemukakan Hipocrates (460-375 SM), yakni phelgmatic, sanguine, choleric dan melankolis. Untuk itu dituntut kejelian orang tua agar pola asuh yang tepat bisa diterapkan tanpa hambatan berarti.

Semua orang tua mengharapkan anaknya kelak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun, untuk mewujudkan harapan itu, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Orang tua dituntut untuk jeli mengamati perkembangan anak dan tentunya menerapkan pola asuh yang tepat.

Sebagai langkah awal, Dra. Mayke S. Tedjasaputra, M.Si., dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, menekankan pula perlunya mengenali kepribadian atau karakter anak. Agak berbeda dari teori sebelumnya yang mengatakan bahwa kepribadian anak dipengaruhi temperamen phelgmatic, sanguine, choleric dan melankolis, Mayke mengetengahkan penggolongan temperamen yang bersifat lebih umum. Orang tua diminta mengamati apakah anaknya tergolong berkepribadian sulit, mudah, atau slow to warm up. Ciri-ciri ketiga tipe temperamen tersebut menurut Mayke biasanya telah dapat
diamati semenjak anak masih bayi.

1. Tipe mudah

Ciri-cirinya:

* Memiliki suasana hati yang positif, cenderung tidak rewel.

* Dengan cepat dapat membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah menyesuaikan diri dengan pengalaman, situasi dan orang-orang baru.

* Memasuki usia prasekolah atau balita, anak tipe ini umumnya lebih mudah memahami penjelasan tentang perilaku yang diharapkan dari mereka.

2. Tipe sulit

Ciri-cirinya:

* Cenderung bereaksi secara negatif dan sering sekali menangis.

* Cenderung bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin, sehingga memberikan kesan sangat sulit untuk hidup secara teratur (misalnya keteraturan dalam hal makan, tidur, mandi dan lainnya).

* Lamban dalam menerima pengalaman-pengalaman baru, sehingga penyesuaian diri dengan lingkungan, situasi, serta orang-orang di sekitarnya, dan makanan baru pun sulit.

* Memasuki usia prasekolah atau balita, si anak sangat sulit sekali bila diberi pengertian atau diberi penjelasan tentang perilaku apa yang tidak diharapkan dari mereka.

3. Tipe slow to warm up

Ciri-ciri:

* Memiliki ciri antara tipe sulit dan mudah.

* Tingkat aktivitasnya rendah.

* Cenderung menunjukkan suasana hati yang negatif (tetapi sedikit lebih baik daripada tipe sulit).

* Penyesuaian dirinya juga lamban dan suasana hati anak tipe ini cenderung rendah intensitasnya. Semasa bayi ia tidak terlalu rewel bila dibandingkan dengan tipe anak sulit. Lewat bujukan-bujukan akhirnya ia dapat ditenangkan.

* Memasuki usia prasekolah atau balita, anak tidak terlalu mudah saat diberi pengertian atau diberi penjelasan tentang apa yang diharapkan dari mereka dalam bertingkah laku. Dibutuhkan usaha yang cukup kuat dan sikap sabar dari orang tua dalam rangka mengajak anak bekerja sama.

JANGAN TERKECOH

Namun, Mayke mengingatkan, orang tua hendaknya jangan sampai terkecoh. Bisa jadi anak yang tenang dan jarang menangis disebabkan perkembangannya yang terlambat, misalnya pada anak yang mengalami keterbelakangan mental. Anak autis pun ada yang berpembawaan tenang. Namun harus diwaspadai, bisa jadi “ketenangan” anak disebabkan keasyikannya yang berlebihan dalam dunianya sendiri sehingga orang tua merasa tidak terganggu.

Bisa juga, ciri-ciri tipe sulit pada seorang anak sebetulnya merupakan bentuk dari gangguan perkembangan hiperaktif. Di usia bayi, anak-anak hiperaktif mempunyai ciri-ciri ketidakteraturan dalam hal tidur, makan, dan eliminasi (buang air) sehingga sulit untuk membiasakan suatu rutinitas pada mereka. Terkadang saat masih berada dalam kandungan, si bayi sudah menunjukkan hiperaktivitasnya dengan kerap melakukan gerakan berputar dan menendang keras-keras.

Bukan hanya kewaspadaan saja yang dibutuhkan dalam mengamati ciri-ciri anak, tetapi juga kepekaan orang tua. Orang tua yang tanggap akan segera memberikan respons ketika anaknya membutuhkan bantuan atau perhatiannya dan tidak akan menunggu sampai anaknya mengamuk atau menangis. Misalnya kebutuhan untuk didekap, untuk ditemani, dan untuk ditenangkan di kala ia merasa takut.

POLA ASUH YANG TEPAT

Pada prinsipnya untuk ketiga tipe anak yang telah disebutkan di atas, pola pengasuhan yang tepat adalah authoritative (demokratis). Yang dimaksud dengan pengasuhan authoritative adalah pola pengasuhan di mana orang tua mendorong anak untuk menjadi mandiri, tetapi tetap memberikan batasan-batasan (aturan) serta mengontrol perilaku anak. Orang tua bersikap hangat, mengasuh dengan penuh kasih sayang serta penuh perhatian. Orang tua juga mem-berikan ruang kepada anak untuk membicarakan apa yang mereka inginkan atau harapkan dari orang tuanya.

Jadi, orang tua tidak secara sepihak memutuskan berdasarkan keinginannya sendiri. Sebaliknya, orang tua juga tidak begitu saja menyerah pada keinginan anak. Ada negosiasi antara orang tua dengan anak sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama. Misalnya, bila anak batita memaksakan keinginannya untuk menggunting baju yang masih bisa dipakai. Orang tua dapat mengambil sikap dengan tetap tidak mengizinkannya menggunting baju yang masih terpakai, tetapi memberikan kain perca atau baju lain yang sudah tidak layak pakai. Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan, kesabaran, dan kreativitas orang tua.

Menurut Mayke, dalam pengasuhan authoritative tetap harus ditegakkan aturan main mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Bila anak balita tidak diberikan batasan ini, maka dia tidak tahu peraturan yang berlaku dan tidak memiliki rambu-rambu yang bisa membatasi perilakunya. Kontrol orang tua juga diperlukan, bila aturan telah ditetapkan, maka orang tua tetap harus memantau sejauh mana aturan itu bisa berjalan. Jangan sampai tanpa sepengetahuan orang tua, anak berhasil melanggar aturan main (misalnya karena dia diasuh oleh orang lain).

Dengan meningkatnya usia anak ke tahap sekolah dasar, maka peraturan tidak sepenuhnya ditetapkan oleh orang tua, melainkan dibicarakan bersama anak. Pemantauan (kontrol) tetap diperlukan, sekalipun tidak dalam jarak dekat seperti sebelumnya. Misalnya, orang tua selalu memantau dengan siapa anak bermain, apa saja kegiatan yang dia lakukan bersama dengan teman-temannya di luar rumah. Tentu saja semua itu bukan dengan maksud untuk memata-matai aktivitas mereka.

Utami Sri Rahayu. Foto: Ferdi/nakita

KONDISI YANG TAK DAPAT DIHINDARI

POLA pengasuhan authoritative memang yang paling ideal, tetapi mungkin adakalanya orang tua tak mampu menerapkan pola ini dengan sepenuhnya. Terutama pada saat emosi orang tua sedang tidak stabil. Saat mengalami kondisi emosi negatif, orang tua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anak. Atau, bisa jadi saat sedang merasa senang karena bisnisnya berhasil, orang tua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.

Kondisi ini, menurut Mayke, masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung naik turun. “Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol, maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan,” tambahnya.

Namun, ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau orang lain. Misalnya ketika anak ingin bermain kabel yang dialiri listrik. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat membahayakan jiwanya. Mau tidak mau orang tua harus bersikap otoriter. Katakan, tidak kepada si anak bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.

Selanjutnya, untuk tidak mematahkan semangat atau keinginan anak bereksplorasi, carikan alternatif. Misalnya, berikan kabel lain yang tidak berhubungan dengan listrik. Jangan lupa, berikan alasan kenapa bermain kabel yang tertancap ke stop kontak dilarang.

Pada saat anak sedang sakit pun, pola pengasuhan demokratis tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Pertimbangan kesehatan anak menjadi yang utama. Untuk itu, orang tua hendaknya memperhatikan seberapa berat dampak yang bakal ditimbulkan bila tetap menerapkan pola pengasuhan seperti biasa.

Khusus untuk anak bertipe sulit dan slow to warm up, memang dibutuhkan ketahanan fisik, kesiiapan mental dan kedewasaan orang tua. Selama mengasuh anak-anak dengan temperamen yang cenderung menyulitkan itu. Berarti orang tua harus lebih keras dalam berupaya.

SYARAT POLA ASUH AUTHORITATIVE

INILAH beberapa hal yang patut mendapat perhatian dalam menerapkan pola asuh authoritative:

1. Utamakan kehangatan atau kasih sayang yang mendalam. Kehangatan menjadi sangat penting karena tanpa adanya hal itu penerapan pola asuh authoritative semakin tidak gampang, terutama pada anak-anak yang tergolong sulit dan slow to warm up. Kehangatan akan lebih menenangkan hati anak dengan kedua tipe temperamen ini sehingga kadar emosi negatifnya menurun. Wujud kehangatan pada anak usia batita dapat dilakukan melalui pelukan yang erat, sering mengajaknya bermain, bercerita, dan berbicara dengan lemah lembut.

2. Saat memberlakukan batasan, orang tua harus tegas dan tegar (konsisten), sehingga anak akhirnya belajar bahwa orang tuanya tidak main-main dengan aturan yang sudah ditetapkan.

3. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ada rambu-rambu yang harus ditaati oleh orang tua dan anak. Selama masih menginjak usia batita, bila anak menolak rambu-rambu yang ditetapkan, maka ia jangan dipaksa mematuhinya. Cobalah cari alternatifnya dengan memakai penjelasan berbeda.

Namun anak-anak usia sekolah umumnya sudah dapat diajak berbicara atau berdiskusi tentang rambu-rambu ini, sehingga penerapannya menjadi lebih mudah. Hendaknya orang tua sudah mempersiapkan alasan-alasan yang dapat diterima anak, yaitu alasan yang tidak terlalu mengada-ada.

4. Dalam mengasuh dan membesarkan anak yang termasuk mudah, Mayke mengingatkan agar jangan sampai orang tua malah mengabaikannya. Hal ini umumnya sering terjadi pada orang tua yang memiliki anak-anak dengan dua tipe berbeda, misalnya yang satu termasuk tipe sulit dan yang lain mudah. Ayah atau ibu lantas lebih memperhatikan anak yang sulit dan selalu berusaha “memenangkannya”.

Tindakan ini, tidak hanya akan membahayakan anak dengan tipe mudah, tapi juga yang bertipe sulit. Anak tipe mudah akan mengalami frustrasi karena merasa selalu dikalahkan dan beralih menjadi anak yang bermasalah. Sedangkan, anak dengan tipe sulit juga menjadi anak yang tidak mampu mengelola rasa frustrasi atau rasa kecewanya kala tidak mendapatkan sesuatu karena selalu dilindungi.

"Anak saya dituding nakal sekali karena tak pernah diam. Bahkan, ada yang bilang dia hiperaktif. Bukankah anak yang sehat seharusnya memang aktif dan hal ini normal-normal saja?"

Ya, tak sedikit orangtua yang bingung dengan keaktifan anaknya. Karena itulah, Sani B. Hermawan, Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Jakarta, membeberkan ciri-ciri dari ADHD, ADD, superaktif, dan aktif, sehingga orangtua dapat membedakannya dan memberikan penanganan yang tepat bagi buah hati tercinta.

1. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
Ciri-ciri:
* Hiperaktivitas.

Anak tak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan perhatiannya pada hal lain. Ciri lainnya, tidak fokus bicara alias mengeluarkan saja apa yang ingin dikatakannya tanpa peduli apakah lawan bicara mengerti/tidak apa yang dibicarakannya. Anak juga cuek ketika ada yang memanggilnya.

* Anak sulit "diberi tahu".
Bila orangtua melarang atau memintanya melakukan sesuatu, ia cuek atau tetap melakukan apa yang ingin dilakukannya.

*Destruktif.
Anak suka merusak. Mainan tak digunakan sebagaimana mestinya, tapi bisa dibanting-banting hingga rusak.

* Impulsif.
Suka melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas, sekadar menuruti keinginannya saja. Misal, ia ingin naik turun tangga dan itu dilakukan tanpa tujuan.

* Tak kenal lelah.
la bisa terus berlarian keliling rumah seharian meski orangtua sudah memintanya berhenti.

* Intelektualitas rendah.
Karena perhatiannya mudah teralihkan, dia hanya menerima informasi sepotong-sepotong. Akibatnya, apa yang diajarkan padanya tidak utuh diterima.

2. ADD (Attention Deficit Disorder)
Di Indonesia, kasus ADD tak sebanyak ADHD. Meski sama-sama mengalami gangguan pemusatan perhatian, tapi anak ADD tak disertai hiperaktivitas. Walaupun sedang duduk diam, anak sepertinya mendengarkan penjelasan yang diberikan padanya, tapi informasi itu hanya diterima sepotong-sepotong karena perhatiannya mudah teralihkan.

3. SUPERAKTIF
Ciri-ciri:
* Bisa tetap fokus.

Meski sekilas anak ini terus bergerak/ tak bisa diam, tapi dia tidak mengalami gangguan pemusatan perhatian. la tetap fokus dengan apa yang dikerjakannya saat itu. Bila diberikan mainan yang membutuhkan penyelesaian, seperti pasel, ia akan menyelesaikannya. Beda dengan anak hiperaktif, yang cepat bosan dan tak menyelesaikan permainannya.

* Konstruktif.
Tenaganya yang berlebih digunakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padanya. Setidaknya, ia akan berusaha untuk menyusun secara konstruktif permainan yang diberikan.

* Bisa merasa lelah.
Setelah lelah melakukan aktivitasnya, anak juga bisa capek. Biasanya kalau capek, ia akan berhenti dan istirahat/tidur.

* Intelektualitas lebih baik.

4. AKTIF

Ciri-cirinya hampir sama dengan anak superaktif, bedanya, tenaga anak aktif lebih sedikit.
Meski sama-sama terus bergerak, tapi anak aktif punya batasan yang hampir sama dengan anak normal. Umumnya cerdas, ia terus bergerak untuk mencari tahu hal-hal yang membuatnya penasaran. la bisa menyelesaikan dengan baik tugas yang diberikan. Pada beberapa bidang, umumnya juga lebih kreatif
SEBAGAI pembina diskusi kelompok elektronik Indonesia yang isinya orangtua anak berbakat dengan gangguan belajar (gifted with learning disabilities), saya sering merasa kesulitan mencari profesional yang bisa menjelaskan secara menyeluruh permasalahan yang dihadapi anak-anak ini. Penyebabnya, kedua kondisi, yaitu keberbakatan dan gangguan belajar, merupakan kondisi yang paradoks.

KEBERBAKATAN bukanlah penyimpangan, tetapi merupakan perkembangan intelektual, sedangkan gangguan belajar (specific learning disabilities) adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih area inteligensia. Gangguan belajar disebabkan adanya gangguan perkembangan yang mengakibatkan fungsi inteligensia terganggu. Keunikan, kelebihan, dan karakteristik anak semacam ini yang ternyata menyulitkan, berbagai gangguan perkembangan, serta kebutuhan khususnya dalam metode pendidikan, membutuhkan sejumlah besar keilmuan untuk menjelaskan.

Umumnya mereka terlambat bicara dan terjebak dalam diagnosis autisme, sekalipun memang mereka mempunyai gejala mirip autisme. Tidak jarang pula tertukar diagnosis mereka dengan autisme Asperger ataupun autis savant. Autis Asperger ada yang mempunyai IQ tinggi (tetapi tidak mengalami keterlambatan bicara), dan autis savant mempunyai talenta luar biasa (tetapi mengalami gangguan sangat luas dalam area inteligensia, seperti dalam film Rainman yang diperankan Dustin Hoffman).

Dalam uji psikologi, anak berbakat dengan gangguan belajar menunjukkan profil inteligensia tidak harmonis, hasil uji akan sangat tinggi dalam performa berupa kemampuan abstraksi dan logika analisis, tetapi tertinggal dalam kemampuan verbal. Kesulitan yang sering mengikuti hingga dewasa adalah gangguan pada memori jangka pendek yang mengatur kemampuan hafalan, terlihat dari nilai hasil uji digit span test yang rendah, 2-3 (normal, 2-9). Para ahli audiologi menyebutnya auditory processing disorder (APD). Artinya bukan telinganya yang terganggu, tetapi proses informasi di otak terganggu sehingga mereka sering tampak seperti anak tuli atau melongo jika diajak bicara dan tidak merespons jika dipanggil. Pada akhirnya berakibat mengalami ketertinggalan perkembangan bicara dan bahasa.

BERBAGAI gangguan perkembangan lain yang menyertai saat masih balita adalah ketidaksinkronan perkembangan. Motorik kasar berkembang hebat, tetapi motorik halus tertinggal. Kemampuan pencandraan visual berkembang hebat, tetapi mengalami gangguan dalam penerimaan informasi melalui telinga. Ia juga mengalami ketidakteraturan perkembangan sensoris, misalnya sensor raba sangat peka sehingga jijik dengan benda basah dan lembek, sering tidak merespons panggilan tetapi terlalu peka suara bising dan mudah terangsang pada suara.

Ia sangat berani, tetapi juga sangat penakut. Ia mempunyai periode berkonsentrasi intensif, namun juga kadang tampak bagai anak tidak bisa konsentrasi dan hiperaktif sehingga sering terjebak dalam diagnosis anak dengan gangguan konsentrasi atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Keberbakatan (giftedness) sesuai dengan definisi Renzulli, yaitu mempunyai kemampuan inteligensia berupa kemampuan logika analisis dan abstraksi tinggi, kreativitas tinggi, serta motivasi dan ketahanan kerja tinggi. Namun, banyak di antara mereka justru sulit berprestasi di sekolah. Hal ini karena ia visual learner, selalu berpikir secara analisis, perfeksionis, dan kadang diikuti rasa percaya diri yang kurang, dan takut gagal sebelum mengerjakan tugas yang sebenarnya bisa dia kerjakan.

Karena sering berada dalam diagnosis autisme atau DHD ditambah karakteristiknya yang khusus itu, mereka sering dianjurkan ke sekolah luar biasa (SLB) karena membawa skor IQ total rendah (akibat ketidakharmonisannya yang kemudian dirata-ratakan), atau dimasukkan ke kelas lambat yang sebenarnya justru keliru karena pada dasarnya mereka adalah pemikir yang sangat cepat.

Apabila ia bisa masuk ke sekolah dasar umum, ia segera dikeluarkan karena guru kewalahan, dianggap mengganggu jalannya pelajaran, dan pihak sekolah tidak mengerti materi serta metode apa yang dapat diberikan kepadanya.

Pada pelajaran matematika umumnya mereka mendapat angka baik, namun tidak demikian pada pelajaran menghafal yang memang lemah. Dengan demikian, pelajaran PKKn, agama, dan bahasa Indonesia mendapat angka jelek. Padahal nilai pelajaran ini sama sekali tidak boleh merah.

Mereka dianggap sangat emosional, keras kepala, dan sulit diatur. Apalagi diikuti dengan tulisan yang jelek karena memang motorik halusnya lemah, hukuman yang diberikan tidak hanya cukup hukuman fisik seperti disetrap di muka kelas, juga dikenai hukuman psikis, yaitu dimarahi dan akhirnya angkanya disunat.

Padahal, mereka adalah kelompok anak berisiko, dukungan pendidikan yang tidak menunjang hanya akan menyebabkan masalah lebih sulit, yaitu jatuhnya anak ke dalam kondisi frustrasi, depresi, hilang percaya diri, berkembangnya konsep diri negatif, timbul perilaku bermasalah, atau timbul keinginan bunuh diri.

KESULITAN orangtua menghadapi anaknya ini adalah kebingungan lengkap. Menghadapi pihak profesional, seperti dokter dan psikolog, hanya mendapatkan penjelasan sepotong, bahkan tidak ada kekompakan untuk mengatakan bagaimana keadaan anak ini. Ditambah pula kebingungan mencari sekolah yang mau menerima. Pihak sekolah pun mengalami kebingungan. Apalagi ilmu learning disabilities belum populer di kalangan guru. Begitu juga karakteristik psikis anak berbakat memang tidak dikenal, terlebih yang mempunyai keistimewaan ganda seperti ini, berbakat tetapi mengalami gangguan belajar.

Dengan begitu metode pengajaran yang beragam dalam kelas juga belum dikenal. Tidak ada informasi formal barang sedikit pun tentang anak seperti ini, baik dari lembaga pengajaran ilmiah maupun lembaga pemerintah. Ironisnya informasi yang didapat sangat simpang siur, melelahkan, membingungkan, tidak tahu siapa yang harus dipercaya.

Dari hasil penelitian para ahli di Belanda pada tahun 1980-an, anak berbakat yang tidak berprestasi adalah setengah dari populasi anak berbakat (2-4 persen dari anak- anak yang lahir). Ketidakmampuan mereka berprestasi disebabkan selain mereka tidak mendapat dukungan perkembangan, juga karena masalah ketidakharmonisan perkembangan.

Agar bisa ditangani dengan baik dan tidak tersasar ke berbagai diagnosis gangguan belaka, maka sejak dini mereka sudah dilacak melalui dokter tumbuh kembang, taman bermain, dan taman kanak- kanak. Sekolah taman kanak-kanak merupakan pusat tumbuh kembang anak yang ditangani oleh dokter sekolah, psikolog, ortopedagog, ahli gerak, ahli wicara, dan berbagai remedial teachers. Tidak terbimbingnya anak ini sejak dini menyebabkan ia hanya tampak bagai anak yang mengalami keterbelakangan mental.

Apa yang bisa diharapkan untuk mengatasi anak-anak berbakat Indonesia yang tak jelas rimbanya ini adalah kerja sama di antara para ahli (dokter, psikolog, dan pedagog) dalam membuat kesepakatan bagaimana melakukan deteksi dini, tata laksana penanganan, metode, serta materi yang cocok dalam pendidikan. Tidak kalah pentingnya adalah pendirian pusat informasi dan psycho educational assessment.

Kesulitan belajar berpengaruh besar pada kehidupan seseorang. Studi mengungkapkan penanganan dini dan intensif membantu meringankan masalahnya. Cermati tanda-tandanya
pada anak Anda agar segera tertangani.

Setiap anak tumbuh dan berkembang berbeda-beda. Ada yang cepat menangkap informasi, ada yang lambat. Ketika stimulasi tak mampu membantu anak mengatasi kesulitan belajar atau learning difficulties/disabilities (LD), Anda perlu waspada! Sebab, di negara maju, ditemukan gangguan kesulitan belajar mengintai 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi.

Terkadang tak terdeteksi

Pada awalnya, sebut saja Sendi, tak mengira masalah yang dihadapinya berkenaan dengan disleksia (salah satu gangguan dalam LD , lihat boks : . Beberapa Gangguan dalam Kesulitan Belajar). Sampai suatu saat ia disadarkan oleh teman-teman kerjanya bahwa selalu saja yang ia ungkapkan atau ekspresikan berbeda dibanding informasi (baik tertulis maupun lisan) yang seharusnya ia tangkap.

Sejak kecil Sendi memang sering ‘tidak nyambung’ dengan pelajaran yang ia peroleh dari guru. Tetapi karena tekun dan diarahkan orang tua, ia bisa mengejar pelajaran. Sampai akhirnya Sendi pun lulus kuliah dengan nilai baik, dan bekerja di sebuah lembaga nirlaba asing dengan perkembangan karir di atas rata-rata. Meski masalah demi masalah berhasil diatasinya, tanda tanya itu tetap belum terjawab, “Apa yang salah dengan diri saya?”.

Masalah yang dihadapi Sendi memang terbilang tidak terlalu parah. Seperti beberapa pesohor dunia sukses macam Tom Cruise, Whoopy Goldberg, Tommy Hilfiger dan beberapa CEO dunia yang sukses. Mereka mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tonggak kehidupan mereka. Namun beruntung mereka tak lantas putus harapan. Namun demikian, tak banyak yang seberuntung mereka.

Berdasarkan studi, sekitar 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi Amerika Serikat menyandang LD. Kurang lebih sama seperti ditemukan di negara-negara Eropa, seperti di Inggris atau Jerman. Tak ada yang tahu persis, berapa jumlah anak-anak yang menyandang kesulitan belajar di Indonesia sampai saat ini. Diperkirakan persentasenya kurang lebih sama. Bedanya, orang tua dan sekolah di negara-negara lain (terutama negara maju), memiliki kebijakan memberikan penanganan khusus untuk mengatasi masalah kesulitan belajar. Akibatnya, tak sedikit yang tak terdeteksi dini bahkan memperoleh salah penanganan.

LD = ‘korslet’ di otak

Menurut psikolog yang aktif memberi konseling di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-UI), Indri Savitri, psi , umumnya penyandang LD mengalami ‘penyimpangan’, antara informasi yang diterima dan output (keluaran) berbeda, “Sepintas anak-anak LD sebagaimana manusia seutuhnya, tak beda dengan anak-anak lain. Tetapi saat menerima informasi dan kemudian mau melakukan tindakan (misalnya, menulis, mengucapkan atau melakukan gerakan) tiba-tiba terjadi ‘korslet’. Hasilnya, istilahnya ‘tidak nyambung’,” jelas konsultan perkumpulan orang tua anak-anak LD dari sejumlah sekolah di Jakarta.

Dr. Dwi Putro, Sp.A (K), Mmed , di Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Ciptomangun Kusumo melihat gangguan kesulitan belajar sebagai sesuatu yang sangat luas. “Ada anak yang mengalami gangguan konsentrasi ( ADD/ADHD ) sehingga mengalami LD . Ada juga anak yang mengalami disleksia saja, misalnya, dan gejalanya tidak terlihat karena bersifat ringan,” ungkap staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Itu sebabnya, secara medis, pemeriksaan disleksia murni misalnya, sedikit lebih sulit dan harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Sementara bagi anak-anak LD dengan dasar ADHD , ada semacam standar penanganan yang berdiri sendiri. Sebab, ADHD sudah merupakan sebuah gangguan yang spesifik. Itu sebabnya, seringkali ADHD dan LD bersanding erat.

Secara organ, dr. Dwi Putro mengungkapkan bahwa pada anak-anak LD didasari oleh ADHD, terdapat bagian spesifik di otak yang membutuhkan penanganan medis. Sementara pada otak anak-anak yang disleksia murni tidak terlacak adanya gangguan di bagian tertentu. “Itu sebabnya, penting melakukan pemeriksaan dini sehingga diperoleh klarifikasi, jenis kesulitan belajar yang disandang anak. Dengan penanganan tepat, deteksi dini dan ketekunan berlatih, gangguan anak-anak penyandang LD dapat diringankan,” jelas dr. Dwi Putro.

Serba segera

Memang tak mudah mendeteksi adanya gangguan LD pada anak. Sebab, diantara para ahli juga masih terdapat perdebatan dalam hal definisi. “Yang jelas, ketika kecurigaan muncul, orang tua dapat membawa anaknya ke psikolog, psikiater atau neurolog anak,” jelas Indri.

Di Indonesia, hubungan antar ahli bersifat saling merujuk. Artinya, ketika orang tua datang ke dokter dan menjalani pemeriksaan, biasanya dokter kemudian merujuk ke psikolog dan terapis (jika diperlukan). Kemudian psikolog akan merujuk ke ahli pendidikan atau guru. Oleh masing-masing ahli, si kecil juga menjalankan sejumlah pemeriksaan dan ini kerap membuat orang tua frustrasi.

“Meskipun kerap membuat orang tua frustrasi, kenyataannya memang si kecil harus menjalani serangkaian tes pemeriksaan, termasuk assesment (tes pengukuran) ketika akan bersekolah di sekolah khusus,” ujar Indri.

Ciri LD atau tanda yang harus diwaspadai orang tua dapat ditemukan pada si prasekolah (Lihat boks: Ciri-Ciri yang Harus Diwaspadai ). Namun, pada beberapa anak yang cukup ‘pandai’, LD bisa saja tak terdeteksi hingga si kecil duduk di kelas 5 atau 6.

Pengetahuan orang tua secara umum tentang LD juga menjadi salah satu kunci agar anak memperoleh penanganan dini dan tepat. Yang dialami Maria Christy Althea (6,5 tahun) dapat dijadikan pelajaran. Pada usia 3,5 tahun, Christy dinilai ibunya, Lily Indah Sujati (41 tahun), sebagai anak yang tidak dapat mengurutkan angka dari 1 sampai 10. Lily berupaya memberikan stimulasi dengan latihan. Beranjak dari TK ke SD, kesulitan Christy mengenal abjad, angka dan membaca tak kunjung membaik. Bahkan di kelas ia kemudian dicap teman-temannya sebagai “si bodoh”, karena ia selalu tertinggal jauh dibanding teman-temannya dalam mengerjakan tugas.

“Awalnya, saya menduga anak saya bodoh dan tidak mampu belajar. Tetapi mengapa tes IQ menunjukkan skor tinggi (Skala Wechsler= 132) dan cukup cerdas? Pada akhirnya seorang psikolog merujuk Christy ke Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), dari situ barulah saya tahu ia menyandang LD ,” jelas Lily.

Sejak itulah cara pandang Lily pada Christy berubah. Namun sayang Christy sudah memandang dirinya bodoh, sebagaimana cap yang dilekatkan oleh lingkungannya sehingga ia butuh terapi emosi agar rasa percaya dirinya bangkit dan konsepnya menjadi positif.

Tak berdiri sendiri

Ada sebuah kerumitan tersendiri ketika kita berusaha memahami gangguan kesulitan belajar. Demikian pula bagi para ahli sebagaimana diungkapkan dr. Dwi Putro di awal tulisan.

Sebagai contoh, Muhammad Fauzan (7 tahun) yang menyandang gangguan keterampilan motorik halus (yang penting untuk menunjang kegiatan menulis dan menyandang gangguan konsentrasi). Fauzan akhirnya harus menjalani terapi sensori integrasi untuk menguatkan otot-otot tangan dan jari, disamping latihan konsentrasi karena ia ternyata juga menyandang ADHD.

Dengan deteksi dini sejak usia batita, ia segera mendapat penanganan ahli, menjalani terapi dan masuk ke sekolah khusus Yayasan Pantara. Hasilnya, Fauzan mencapai kemajuan pesat.

“Anak-anak yang menyadang LD , biasanya memiliki IQ sangat tinggi. Mereka cerdas di atas anak rata-rata dan berbakat. Tetapi mereka biasanya mentok dalam urusan akademik, kecuali mendapat pendekatan yang tepat seperti dilakukan oleh sekolah khusus, atau sekolah umum yang peduli dengan anak-anak LD ,” ungkap Indri.

Di Amerika Serikat, misalnya, ada beberapa lembaga yang berupaya mengatasi masalah kesulitan belajar, seperti The National Center for Learning Disabilities. Di Indonesia, meskipun tidak besar, ada beberapa sekolah umum yang mendirikan perkumpulan orang tua dari anak-anak LD sebagaimana yang bekerja sama dengan LPT- UI selama ini.

Menurut Indri, penyandang LD butuh bimbingan khusus dan ditempatkan di kelas dengan murid terbatas. Misalnya, 9 – 10 murid dengan 3 orang guru plus seorang psikolog seperti di sekolah Fauzan. Jangan juga terlalu mem- push , jika anak tak berhasil juga mengatasi hambatannya dalam belajar.

“Ajaklah anak untuk berusaha bersama, misalnya, “Nak, tadi Bu guru bilang kamu harus banyak latihan menulis, yuk, kita lakukan sama-sama”. Kunci keberhasilan anak-anak LD adalah dukungan keluarga. Keluarga, terutama orang tua harus peka, memberikan penerimaan yang baik terhadap anak LD dan memilih ahli serta sekolah yang tepat. Ini menentukan konsep diri yang positif,” Indri menyarankan.

Tentu saja ini berarti, orang tua dan dunia pendidikan harus mendefinisikan ulang istilah “sukses” bagi anak-anak LD . Sukses tak berarti berhasil dalam urusan akademis semata. Sukses justru berawal dari keberhasilan membidik dan mengarahkan bakat unik anak.

Menyimak tulisan tentang masalah autisme dalam dua terbitan Republika (25 dan 26 Februari 2002), buat saya sangat menarik sekaligus menimbulkan greget tersendiri. Bagaimana tidak dalam satu tulisan bisa menampilkan sebuah polemik tentang penyebab autisme, satu ahli mengatakan penyebabnya belum diketahui, kemungkinan besar faktor genetik membawa peranan; tetapi ahli lain mengatakan banyak faktor sebagai penyebab baik saat kehamilan maupun pasca kelahiran.

Satu ahli mengatakan terapinya adalah terapi perilaku yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan dalam menghadapi konflik antar-diagnotician tentang label dan kekhawatiran adanya overdiagnosis, ia lebih memilih jalan tengah, bahwa kita tidak perlu pusing dengan label, tetapi berbagai penyimpangan maupun kelainan pertumbuhan dan perkembangan hendaknya ditangani sedini-dininya. Sementara itu ahli lain tetap mengharapkan penggunaan label autisme dengan mengatakan bahwa masyarakat hendaknya jangan menutup mata jika anaknya mengalami gangguan autisme.

Autisme yang merebak saat ini--di dunia maupun Indonesia--telah menjadi momok buat semua orangtua. Bagaimana tidak jika isunya mengatakan bahwa di Indonesia saja mencapai 1:150 anak mengalami hal ini, dan tidak akan sembuh pula. Isu vaksin sebagai biang keladi pun menjadi hantu yang cukup mengerikan. Bagi orangtua yang anaknya terstempel label autisme (yang tidak mungkin sembuh itu), serta merta mengalami kepanikan dan diterima oleh berbagai terapi alternatif komersial baik radikal maupun tidak, serta belum jelas hasilnya.

Ironisnya seperti yang diakui ahli dalam tulisan itu, masalah diagnosis autisme sendiri masih diperdebatkan oleh para dokter sendiri. Ada yang mengatakan betul autisme, atau hanya hiperaktif saja, bahkan bukan apa-apa, saat menghadapi suatu pasien yang sama.

Lalu bagaimana kita mampu memilih bentuk terapi yang benar, jika kausa dan diagnosisnya masih menjadi perdebatan?

Sementara itu, para orangtua sangat resah ingin segera mengerti tentang anaknya itu, agar mampu menjadikan anak yang mandiri. Label autisme (sekalipun masih kontraversial, dalam spektrum, sindrom, berat-ringan, autistik features) membawanya mengembara mencari-cari, seperti apakah kelak anakku ini? Ternyata yang ketemu, figur Rain Man dalam sebuah film yang dimainkan Dustin Hoffman--seorang autis savant yang idiot dengan kemampuan memori verbal dan memori visual yang hebat sehingga mampu bermain perkalian sampai berdigit-digit tanpa kalkulator. Atau bertemu pada figur asperger yang mampu menjadi seorang doktor sekalipun, tetapi mengalami gangguan berkomunikasi dengan orang lain. Padahal tipe autisme asperger ini pada waktu balita tidak mengalami keterlambatan bicara. Disangkanya kelak anaknya akan seperti itu, padahal autis savant hanya berjumlah 10 persen dari autisme infantil yang mental retarded, dan asperger yang ber IQ tinggi hanya berjumlah tiga persen saja dari kelompoknya.

Saya bersama beberapa rekan dokter dan psikolog secara sukarela dan nirlaba meluangkan waktu membina mailinglist anak berbakat. Mencari informasi ke seluruh dunia dan menyampaikan ke tanah air. Kami dan para anggota mailing list adalah para orangtua yang mempunyai anak- anak yang senasib, menyadari bahwa kami adalah kelompok yang terjepit, dan kebingungan. Bagaimana tidak, di antara para anggota kami, anak- anaknya pernah mendapat stempel bermacam-macam, bahkan ada yang sampai 5 jenis diagnosis. Atau jika anak itu ternyata sudah mampu bicara dengan baik, diagnosis pun berubah, tadinya autisme berubah menjadi ADHD (Attantion Deficit Hyperactivity Disorder). Atau karena sangat pintar, ia terdiagnosis sebagai autis savant, ataupun autis asperger. Sesuatu hal yang tidaklah mungkin, karena autisme sulit mengalami pencapaian taraf perkembangan yang drastis macam anak-anak kami, autisme tidak kreatif dan tidak analistis. ADHD sendiri tidak pernah mengalami keterlambatan bicara. Terapi psikotropika pun dari risperdal bagi autisme berubah kepada ritalin bagi ADHD. Atau bahkan ada yang sekaligus risperdal dan ritalin. Atau pagi harus menelan risperdal dan sore menelan prozac. Belum lagi berbagai terapi alternatif sampingan yang bukan saja menguras kantung, tetapi juga emosi. Pencarian sekolah pun menjadi dilema, mereka ditolak dimana-mana, mulai dari sekolah luar biasa hingga sekolah biasa, karena dianggap bergangguan jiwa.

Air mata yang tumpah bertahun-tahun dari para orangtua itu, yang selalu dituding sebagai orangtua yang denial terhadap diagnosis autisme anaknya, telah menyadarkan kami, saat anak-anak ini telah mampu menjalani test IQ di usianya yang ke lima atau ke enam. Mereka ternyata adalah anak-anak exceptional gifted (berbakat dengan IQ yang sangat tinggi yang dapat dikatakan sebagai anak-anak jenius). Anak- anak ini mengalami perkembangan yang dyssynchonie yang berakibat pada berbagai perkembangannya tidak sama dengan anak normal lainnya, sebagiannya mengalami perkembangan bersindrom autisme dan sebagian lagi bersindrom ADHD. Perkembangan dyssynchronie pada anak exceptional gifted ini dinyatakan tidak patologis tetapi sebagai karakteristik, pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis tahun 1971, dan kini telah diterima di banyak negara di daratan Eropa. Di Belanda kondisi dyssynchronie ini dikenal sebagai kinderen met onwikkeling voorsprong (mengalami loncatan perkembangan, tetapi tertinggal di beberapa domain perkembangan), dan telah diterima secara mapan oleh semua profesi serta telah diajarkan di semua pendidikan yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak-anak.

Di Amerika dikenal sebagai gifted with learning disabilities, karena ketidak sinkronannya itu menyebabkan berbagai gangguan penerimaan pengajaran dan perkembangan sosial-emosional. Terminologi gifted with learning disabilities ini juga ternyata membawa dilema pada anak-anak ini, karena learning disabilities-nya inilah mereka lalu menjadi bulan-bulanan sasaran berbagai terapi alternatif, termasuk terapi nutrisi, megavitamin dan herbalis yang kini makin menjamur. Apalagi anak-anak ini kelompok anak yang mengalami biological disorder, seperti alergi dan gangguan metabolisme.

Kesulitan mendeteksi balita calon jenius ini juga disebabkan karena gejala yang dihadirkan anak-anak ini sangat mirip dengan berbagai gangguan mental lainnya. Begitu sulitnya untuk menegakkan diagnosis, maka banyak kalangan yang berpendapat bahwa, apa pun anak itu jadinya kelak, kalau balitanya menunjukkan penyimpangan perkembangan pokoknya sebaiknya diterapi saja. Karena gejalanya mirip-mirip dengan autisme ataupun ADHD. Maka tidak ayal pula kelompok kami menjadi bersitegang dengan kelompok yang mempertahankan diagnosis autisme ataupun gangguan mental lainnya. Karena menurutnya dikhawatirkan kelak masyarakat menyangka bahwa yang mempunyai gejala autis itu adalah anak jenius, lalu tidak mau membawa anaknya ke dokter, sebagaimana yang banyak tersebar saat ini dalam masyarakat.

Terlibatnya anak-anak jenius ini dalam berbagai diagnosis gangguan mental akhir-akhir ini karena adanya perubahan sistem diagnosis yang digunakan di berbagai belahan dunia pada sepuluh tahun terakhir. Bahkan banyak publikasi pula di tanah air yang mengatakan bahwa Einstein, Michelangelo, Thomas Alfa Edison, yang kita kenal selama ini sebagai orang jenius, kini dinyatakan sebagai orang-orang autis. Publikasi ini tentu saja membuat giris kelompok jenius. Bahkan ada pula publikasi seorang pakar terapi autisme mengatakan bahwa jika autis diterapi dan sembuh maka ia akan menjadi jenius (Media Indonesia, 7/9/2001).

Sekalipun anak-anak ini masa balitanya mempunyai perkembangan bersindrom autisme ataupun ADHD, tetapi mereka tidak sama dengan autisme ataupun ADHD. Betul gejala mereka berada di garis antara normal dan tidak normal. Tapi bukan berarti grey area ini kemudian ditarik menjadi autisme ataupun ADHD dan menerima berbagai terapi yang sama dengan autisme atau ADHD. Sekalipun mempunyai gejala perilaku yang mirip-mirip, tetapi psiko-neurobiologis mereka amat berbeda dengan autis/ADHD.

Sayangnya ilmu tentang anak-anak yang exceptional gifted (jenius) ini di Indonesia tidak populer, baik dilingkungan psikolog dan pedagog sendiri sebagai profesi yang bertanggung jawab dalam bimbingan dan pengembangan anak-anak ini, ataupun juga dilingkungan dokter anak yang bertanggung jawab dalam mengawasi tumbuh kembang anak-anak balita, serta di lingkungan psikiater yang seharusnya mampu memilah mana yang disorder dan mana yang tidak disorder. Budaya kesehatanpun yang tidak membiasakan pemantauan balita secara detil, tidak mendukung terdeteksinya anak-anak ini sebagai anak exceptional gifted yang mengalami dyssynchronie perkembangan dan membutuhkan perhatian ekstra, dukungan lingkungan, bimbingan sebagaimana yang dibutuhkan, serta pengembangan berbagai aspek yang tertinggal, mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, dan mengeliminasi berbagai kekurangannya, agar ia mampu hidup senormal mungkin dan berprestasi seoptimal mungkin.

Apa yang kita ketahui selama ini tentang anak berbakat adalah anak yang baik-baik saja, tidak mengalami ketidakseimbangan perkembangan, serta dinyatakan tidak disorder. Karena itu, tidak pernah diperhatikan oleh semua profesi, mereka terlupakan, bahkan terdepak dari diagnosis satu ke diagnosis lainnya. Anak dan orangtua mengalami duka lara yang luar biasa. Padahal anak-anak ini berjumlah dua persen dari anak yang lahir ke dunia. Suatu jumlah yang sangat besar.

Apa yang bisa diharapkan saat ini adalah agar para profesional menghentikan perdebatan dan selisih pendapat mereka, bersama-sama mempelajari serta membuat kesepakatan, serta bersatunya berbagai ikatan profesi yang bertanggung jawab pada tumbuh kembang, bimbingan dan pendidikan anak-anak ini, seperti dokter anak, psikolog, dan pedagog.